Wednesday, January 18, 2012

Never Ending Dilemma





Sebelum menikah, saya bertanya pada suami saya, “apakah kelak kamu akan mengizinkan saya bekerja?” Jawabannya: Ya. Tapi, selama kamu bekerja, lebih baik kita tidak usah punya anak. Saat mengatakannya, saya tahu, Bunny semata-mata menginginkan yang terbaik untuk calon anak-anak kami kelak. Ia haqqul yaqin, yakin yang sebenar-benarnya, bahwa tempat di samping anak hanya ada Ibu. Tidak ada yang lain, tidak ada pengasuh, tidak ada pembantu.



Saya keberatan. Sesungguhnya, di luar segala cita-cita saya untuk menjadi itu dan anu, hasrat terdalam saya adalah membesarkan anak-anak dengan baik sebagai Ibu Rumah Tangga (IRT). Namun, masa kecil (sekitar usia SD lah…) sampai remaja saya bisa dikatakan nggak mudah. Orang tua saya berusaha sekuat tenaga menyekolahkan saya. Termasuk saat saya berangkat kuliah. Mereka mengorbankan satu-satunya aset terbaik yang mereka miliki, sebidang tanah di kawasan yang strategis untuk ukuran saat itu, bahkan sampai dengan saat ini. Sampai detik menjelang saya menikah, Papah masih berjuang keras memenuhi kebutuhan hidup kami. Saya sudah bukan beban keluarga lagi secara finansial, tetapi masih jauh dari membantu mereka. Pernikahan saya pun masih dibiayai oleh orang tua.


Saya tak ingin susah seperti itu lagi. Walaupun itulah salah satu hal yang membentuk karakter saya saat ini. Tidak ingin Ihya bingung mau berangkat naik apa karena kami benar-benar tak punya uang (seperti saya dahulu). Sedih betul membayangkannya. Di sisi lain, saya juga tak ingin bingung jika ingin memberikan sesuatu kepada Mamah, Papah, Adek, atau keluarga saya yang lain. Singkatnya, saya ingin mandiri secara finansial. Buat apa Mamah Papah mengirim saya kuliah tinggi-tinggi, berkorban banyak-banyak, jika kehidupan saya tidak lebih baik? Dan saya pun meminta suami untuk mempertimbangkannya lagi.

Alhamdulillah, ia setuju…

Saya pun bekerja, sampai dengan sekarang. Namun, jangan tanya geledek di hati ini ketika memutuskan terus bekerja setelah Ihya lahir. Sedih, galau, bimbang, kadang menangis mengingat bahwa saya harus meninggalkan Ihya bekerja. Alhamdulillah (banyak-banyak!!) lagi, Allah kasih saya tempat kerja yang dekat dengan rumah. Hanya sekitar 10 menit dari rumah jika lalu-lintas sedang lancar. Badan saya tak lelah benar, sehingga masih bisa full energy saat berhadapan dengan Ihya setelah pulang kerja.

Masa-masa galaupun datang dan pergi. Kala keadaan di kantor baik dan menyenangkan, saya mantap bekerja. Saat keadaan sedang kurang baik, saya bimbang lagi. Cukup sepadankah apa yang saya lakukan seharian meninggalkan Ihya?

Namun, saya tahu, terus-menerus seperti itu tidaklah produktif. Saya ambil nafas dan berusaha membuat pilihan yang mantap. Bekerja. Suatu saat saya mungkin akan berhenti. Tapi tidak sekarang. Hanya Allah yang tahu betapa pedihnya hati saya kala harus meninggalkan Ihya. Apalagi saat keadaannya sedang kurang baik atau sedang manja dengan saya. Suatu hari mungkin Ihya akan bertanya, kenapa ibunya harus bekerja?

Saya akan jujur. Tidak akan ada yang saya tutup-tutupi. Sayapun akan memintanya untuk ikhlas dan mengambil sisi positif dari keadaan ini. Saya berharap, Ihya mampu lebih mandiri. Dan kami akan sangat menghargai masa-masa kebersamaan kami.

Saya pun berkomitmen, untuk memberikan perhatian penuh pada Ihya saat saya di rumah. Saya yang akan memilihkan dan mengolah makanan-makanan terbaik untuknya. Saya juga tak perlu pengasuh saat ada di rumah. Saya tak akan meninggalkannya dalam keadaan menangis. Alhamdulillah, sampai saat ini saya (masih) berhasil memenuhi komitmen-komitmen tersebut. Ihya juga lebih memilih saya ketimbang siapapun saat saya ada di sisinya. Suami pun memberikan dukungan sepenuhnya.

Sampai sini, bertanya-tanya nggak kenapa saya menulis tentang hal ini? Sebenarnya saya tertarik menulis hal ini karena status seorang teman di FB: “Mmm...gimana yaa...akhir2 ini sering liat status2 ibu2 yg "menyepelekan" usaha para WM. Kesannya, ibu bekerja dikantor ga bs ngasih perhatian selain berupa mainan mahal, baju bagus atau barang2 mahal lainnya. Kesannya jg, ibu bekerja itu cuma mikirin materi aja, ga mikirin perasaan si anak. Knp yaa?”

Sejujurnya, kadang saya pun merasakan hal tersebut lewat komentar-komentar teman. Nggak semua orang tentu saja… Beberapa tetap bijak untuk memahami kehidupan keluarga orang lain adalah kotak yang tak layak disentuh kecuali diminta.

Tulisan ini bukan pembenaran. Hanya curahan hati. Membacanya dari awal membuat saya mantap. Bukan mantap untuk bekerja, tapi untuk melakukan yang terbaik dalam pilihan-pilihan yang saya punya.

Tulisan ini untuk setiap Ibu di jagad raya…Sebelum menikah, saya bertanya pada suami saya, “apakah kelak kamu akan mengizinkan saya bekerja?” Jawabannya: Ya. Tapi, selama kamu bekerja, lebih baik kita tidak usah punya anak. Saat mengatakannya, saya tahu, Bunny semata-mata menginginkan yang terbaik untuk calon anak-anak kami kelak. Ia haqqul yaqin, yakin yang sebenar-benarnya, bahwa tempat di samping anak hanya ada Ibu. Tidak ada yang lain, tidak ada pengasuh, tidak ada pembantu.

Saya keberatan. Sesungguhnya, di luar segala cita-cita saya untuk menjadi itu dan anu, hasrat terdalam saya adalah membesarkan anak-anak dengan baik sebagai Ibu Rumah Tangga (IRT). Namun, masa kecil (sekitar usia SD lah…) sampai remaja saya bisa dikatakan nggak mudah. Orang tua saya berusaha sekuat tenaga menyekolahkan saya. Termasuk saat saya berangkat kuliah. Mereka mengorbankan satu-satunya aset terbaik yang mereka miliki, sebidang tanah di kawasan yang strategis untuk ukuran saat itu, bahkan sampai dengan saat ini. Sampai detik menjelang saya menikah, Papah masih berjuang keras memenuhi kebutuhan hidup kami. Saya sudah bukan beban keluarga lagi secara finansial, tetapi masih jauh dari membantu mereka. Pernikahan saya pun masih dibiayai oleh orang tua.

Saya tak ingin susah seperti itu lagi. Walaupun itulah salah satu hal yang membentuk karakter saya saat ini. Tidak ingin Ihya bingung mau berangkat naik apa karena kami benar-benar tak punya uang (seperti saya dahulu). Sedih betul membayangkannya. Di sisi lain, saya juga tak ingin bingung jika ingin memberikan sesuatu kepada Mamah, Papah, Adek, atau keluarga saya yang lain. Singkatnya, saya ingin mandiri secara finansial. Buat apa Mamah Papah mengirim saya kuliah tinggi-tinggi, berkorban banyak-banyak, jika kehidupan saya tidak lebih baik? Dan saya pun meminta suami untuk mempertimbangkannya lagi.

Alhamdulillah, ia setuju…

Saya pun bekerja, sampai dengan sekarang. Namun, jangan tanya geledek di hati ini ketika memutuskan terus bekerja setelah Ihya lahir. Sedih, galau, bimbang, kadang menangis mengingat bahwa saya harus meninggalkan Ihya bekerja. Alhamdulillah (banyak-banyak!!) lagi, Allah kasih saya tempat kerja yang dekat dengan rumah. Hanya sekitar 10 menit dari rumah jika lalu-lintas sedang lancar. Badan saya tak lelah benar, sehingga masih bisa full energy saat berhadapan dengan Ihya setelah pulang kerja.

Masa-masa galaupun datang dan pergi. Kala keadaan di kantor baik dan menyenangkan, saya mantap bekerja. Saat keadaan sedang kurang baik, saya bimbang lagi. Cukup sepadankah apa yang saya lakukan seharian meninggalkan Ihya?

Namun, saya tahu, terus-menerus seperti itu tidaklah produktif. Saya ambil nafas dan berusaha membuat pilihan yang mantap. Bekerja. Suatu saat saya mungkin akan berhenti. Tapi tidak sekarang. Hanya Allah yang tahu betapa pedihnya hati saya kala harus meninggalkan Ihya. Apalagi saat keadaannya sedang kurang baik atau sedang manja dengan saya. Suatu hari mungkin Ihya akan bertanya, kenapa ibunya harus bekerja?

Saya akan jujur. Tidak akan ada yang saya tutup-tutupi. Sayapun akan memintanya untuk ikhlas dan mengambil sisi positif dari keadaan ini. Saya berharap, Ihya mampu lebih mandiri. Dan kami akan sangat menghargai masa-masa kebersamaan kami.

Saya pun berkomitmen, untuk memberikan perhatian penuh pada Ihya saat saya di rumah. Saya yang akan memilihkan dan mengolah makanan-makanan terbaik untuknya. Saya juga tak perlu pengasuh saat ada di rumah. Saya tak akan meninggalkannya dalam keadaan menangis. Alhamdulillah, sampai saat ini saya (masih) berhasil memenuhi komitmen-komitmen tersebut. Ihya juga lebih memilih saya ketimbang siapapun saat saya ada di sisinya. Suami pun memberikan dukungan sepenuhnya.

Sampai sini, bertanya-tanya nggak kenapa saya menulis tentang hal ini? Sebenarnya saya tertarik menulis hal ini karena status seorang teman di FB: “Mmm...gimana yaa...akhir2 ini sering liat status2 ibu2 yg "menyepelekan" usaha para WM. Kesannya, ibu bekerja dikantor ga bs ngasih perhatian selain berupa mainan mahal, baju bagus atau barang2 mahal lainnya. Kesannya jg, ibu bekerja itu cuma mikirin materi aja, ga mikirin perasaan si anak. Knp yaa?”

Sejujurnya, kadang saya pun merasakan hal tersebut lewat komentar-komentar teman. Nggak semua orang tentu saja… Beberapa tetap bijak untuk memahami kehidupan keluarga orang lain adalah kotak yang tak layak disentuh kecuali diminta.

Tulisan ini bukan pembenaran. Hanya curahan hati. Membacanya dari awal membuat saya mantap. Bukan mantap untuk bekerja, tapi untuk melakukan yang terbaik dalam pilihan-pilihan yang saya punya.

Tulisan ini untuk setiap Ibu di jagad raya…

pulang kerja langsung foto bareng karena bajunya lagi sama-sama warna ungu...hehe

Monday, January 16, 2012

Suatu Malam...


Hun: "Bun, kenapa sih kamu mau nikah sama aku?"


Bun: "Kenapa? Emang nggak boleh...?"

Hun: "Yee...beneran!!"

Bun: "Nggak papa, iseng aja."

*cium Bunny!!*

Anakku (akhirnya) Berenang!!



Tambahan: di kolam renang umum.



Sebenarnya, Ihya sudah beberapa kali merasakan “nikmatnya” berenang. Mulai di gentong penampungan air, sampai di kolam renang plastik di rumah. Tapi semuanya berakhir kurang lebih sama: Ihya kebanyakan menjerit daripada tertawa. Kelihatannya dia kurang menikmati bermain di air. Ihya cuma bisa tenang kalau mainnya berdua sama Ibu, dan dipangku di perut Ibu. Haiyah, ini mah duduk di pinggir kolam namanya Nak, bukan berenang…


Nah, hari Minggu kemarin, kebetulan Papah yang lagi seneng berenang pingin ngajak Ihya berenang juga. Ya… itung-itung menyenangkan hati Kakek lah, lagian siapa tahu dengan suasana yang ramai dan heboh ala water park Ihya lebih tertarik untuk main air.

Ihya juga dibeliin ban renang baru lho…
*sengaja Bang, pilih gambarnya pas kamu kurang oke, soalnya yang jadi fokus kan bannya…Hehe*


Ibu nggak kalah semangat!! Soalnya di dalam hati emang udah jingkrak-jingkrak dapat kesempatan buat main air lagi, walaupun nggak bisa berenang (gimana mau berenang, wong pake gamis plus jilbab lengkap…). Waktu melihat ramainya kolam renang, mata Ihya langsung mengerjap-ngerjap. Wah, pertanda bagus nih…



Tapi begitu nyemplung… Hiaaa… Ternyata masih nangis. Hiks, kesian, kamu nggak bener-bener menikmati ya Bang… Tapi misi berenang kali ini memang nggak muluk-muluk kok. Siapa tahu makin sering kamu jadi makin berani. Ya kan?


Lagipula sebenernya, Ihya sempat merasa cukup nyaman dengan acara berenangnya, tapi karena Kakeknya luar biasa semangat mencipratkan air, jadilah Ihya menangis lagi. Hehe. Dan waktu di arena bermainnya Ihya juga lumayan antusias kok. Walaupun terkaget-kaget karena kebanjur air terus, tapi pas merosot bareng Ibu, Ihya seneng tuh kayaknya.

Cuma, biasa lah ya…kelihatan juga lagunya… Giliran lagi nangis merengek-rengek, giliran lagi muncul keberaniannya, langsung deh…cerewet banget tunjuk sana-sini… *anak ibu lucu banget siiih*. Yap, demikianlah acara liburan hari Minggu kemarin. Ayah udah wanti-wanti minggu depan mau berenang lagi tuh Bang!! *ciapa atuuut??!*

*nangis…*

*dan akhirnya tertidur…zzz…*



Picture of That Day...


Tiba-tiba tadi sore terlintas untuk memajang foto pernikahan saya di blog. Tetapi, sejujurnya saya malu (sebel lebih tepatnya) banget dengan foto pernikahan saya sendiri. Boleh dibilang suami saya jauh jauh jauh terlihat ganteng dan ciamik di acara yang mustinya membuat saya terlihat paling kinclong.

Kenapa sebel?

Pertama dan terutama, jilbab yang saya pakai nggak nutup dada.

Kedua, make upnya kok tebel banget ya? Apakah memang seperti itu make-up buat acara pernikahan dan panggung? Kalau iya… saya jadi agak berlega hati kenapa artis dibayar mahal (bolee baca postingan ini) J.

Ketiga, kuku saya dipakein kuteks yang… KERING. Masya Allah…modal dikit kek.

Keempat, karena alis saya dicukur tanpa ijin.

Kalau inget keempat hal di atas saya jadi nyeseeel banget nggak terlalu memperhatikan bagian yang satu ini. Mau tes make-up, pake acara sayang duit segala karena harganya mahal… Dan tentunya saya menyesal karena nggak tegas dan galak sama periasnya. Yang ada di pikiran saya saat itu, saya harus jaga emosi, dan saya pikir dia tahu yang terbaik *tarik napas*. Dan, mau balas dendam ah…hehe, yang merias saya adalah Ida Salon di daerah Pondok Bambu.

Untungnya pas dandan sesi kedua saya bertahan dengan sekuat tenaga. Biarin acara resepsi telat. Ngotot-ngototan juga biarin, udah sah ini… Dan yang penting tamu tetep makan. Hehehe. Akhirnya, dengan perdebatan panjang, di sesi resepsi jilbab berhasil dipanjangkan. Tapi tetep aja terlihat nggak menawan buat saya, karena si ibu tukang rias itu punya kecenderungan untuk menaruh perhiasan apapun di kepala saya… Selain itu ketebalan make up juga bertambah parah… Dan hari itu, detik itu, saya merasa didandani ala banci…

Alhamdulillah resepsi hanya sekitar dua jam saja, dan percayalah, ternyata bekas make up tuh tak bisa dihilangkan dengan mudah… *bertanya-tanya, solat zhuhur saya hari itu sah gak ya?*

Dan, (Alhamdulillah lagi), saya mendapat kesempatan untuk menjalani resepsi kedua di rumah Papa dan Bunda Mertua. Yang menyediakan baju dan pernak-pernik pernikahan adalah saudara dekatnya Papa Mertua. Orangnya sangat-sangat kooperatif. Saya dibuatkan baju baru yang indah dan jauh dari kata norak. Bahkan saya berani pake baju tersebut ke kondangan (dengan catatan ke kondangannya naik taksi, bukan naik motor. Hehe). Dan dengan pengalaman resepsi yang pertama, saya wanti-wanti bahwa saya punya standar tersendiri mengenai tata rias.

Oh, Subhanallah, Allah baik banget. Dandanan resepsi kedua ini seolah membayar semuanya. Yaaa… nggak jadi cakep banget gimana juga sih, tapi paling nggak, saya masih terlihat seperti perempuan, dan Ibu periasnya pun bisa memahami kalau saya nggak suka terlalu menor dan mau memanjangkan jilbab. Ditambah lagi saya lagi “dapet” saat resepsi kedua tersebut berlangsung, jadi nggak ada cerita nggak sholat atau nge-jama’ sholat (alasan dari mana pulak itu nge-jama’ sholat karena resepsi??). Terimakasih untuk Kak Sarah yang sudah banyak membantu…J

Jadiii, foto yang akan saya pajang dari resepsi yang kedua aja ya… Mengingat yang pertama aja udah bikin sebel, tolong jangan berharap saya mau memajangnya di blog. Hehe.



*lumayan kaaan?*

Friday, January 13, 2012

Mereka yang Singgah di Rumah (dan Hati) Kami

Sudah jam 17.30. Mustinya saya langsung cabut dari kantor. Singgah di Superindo buat beli kebutuhan rumah yang mulai menipis, dan pulang. Main sama Abang. Tapi sayangnya harus ucek-ucek balon-balon di atas kepala saya nih… Alhamdulillah hujan sedang deras-derasnya *dan saya berdoa supaya rumahku nggak kebanjiran Ya Allah…*. Sambil menunggu hujan agak reda, nulis dulu ah…

Mau nulis tentang ART nih. Dari beberapa hari yang lalu sudah kepikiran mau nulis tentang ini. Ceritanya, saya bergabung dengan sebuah group di FB, namanya Ummi’s Corner. Lumayan membantu dan bermanfaat sih, segala macem hal dibahas di sana. Dari mulai ASI, kehamilan, persalinan, ngurus anak, masakan, sampai KB dibahas di sana. Agak ngalor-ngidul dan nggak terorganisir sih memang… Tapi, lagi-lagi, ada manfaatnya kok. Dan jelas lebih bermanfaat daripada situs gosip atau situs porno.

Suatu hari Mbak Arie (haduh, kangen juga sama Ibu yang satu itu… Kapan ketemu lagi yah? Memang susah kalau udah punya kegiatan masing-masing begini…), yang notabene kerja di sebuah LSM (kalau nggak salah nama LSM-nya Solidaritas Perempuan) posting di group yang saya ceritakan di atas. Isinya, minta informasi, kalau ada yang sudah menerapkan sistem kontrak dengan ARTnya (ART tau kan ya? Asisten Rumah Tangga. Ameliorasi dari pembantu atau babu. Dan saya jelas lebih seneng dengan istilah ini), untuk jadi saksi di gugatan masyarakat yang judulnya sumpah saya lupa, tapi intinya untuk memperbaiki kedudukan ART lah… Supaya nggak diperlakukan semena-mena.

Eh, bukannya ada yang angkat tangan, itu thread malah berbagi pengalaman soal ART. Kebanyakan sih masih belum bersepakat dengan menggunakan kontrak (termasuk saya). Yang kemudian balas-membalas komen antara Mbak Arie dengan kebanyakan ibu-ibu lainnya. Sampai akhirnya saya masuk dan thread itu berenti aja gitu…

Balik lagi, karena itulah saya terinspirasi buat nulis para ART yang sudah singgah di rumah mungil kami (seriusan mungil, mungil banget masih dalam tahap niat, yang gede mah rumah pinjeman).

ART 1: Saya hamil. Sekitar 4 atau 5 bulan lah… Mulai sering sakit pinggul karena perjalanan jauh nan macet pulang-balik ke tempat kerja setiap harinya. Suami saya amat membantu pekerjaan rumah, sampai akhirnya dia dapet tempat kerja yang lebih jauh dari saya dan pastinya nggak kalah capek. Akhirnya, tung itung itung, kami memutuskan untuk punya ART. Kerjaannya cukup seterika baju dan ngepel rumah. Karena kerjaan nyeterika itulah yang paling nggak kepegang. Sisanya, kami tanggung berdua. Setiap hari Sabtu saja. Gajinya kalo nggak salah Rp. 100rb.

Hanya sehari, dan kemudian ia tak pernah tampak lagi. What??! Apakah saya galak? Menyebalkan? Cerewet? Atau gaji nggak manusiawi? Atau apakah…? Asli lah…saat itu bingung, walaupun pekerjaan nggak keteteran-keteteran amat. Padahal kita udah berencana mau bantu sekolah anaknya segala… Tapi ya sudahlah, mau gimana lagi? Belum sempet tukeran biodata, dan bahkan saya lupa udah nanya namanya atau belum.

Sekitar satu bulan kemudian tetangga yang bantu saya nyariin ART ini ngasih kabar, kalau si Mbak tidak masuk karena ada keluarganya yang sakit, dan nggak enak buat balik lagi…

ART 2: Namanya Mbak Meri . Umm,,,untuk ibu-ibu seumuran dia sebenarnya saya agak kurang sreg dengan penampilannya. Berbaju ketat dan bercelanan pendek. Tapi, kerjaan lumayanlah… Yang sekarang gajinya Rp. 125rb dengan jobdesc yang sama seperti ART yang lalu. Sampai akhirnya hari mulai berganti (mungkin kurang lebih sekitar sebulan dua bulan), dan kerjaannya mulai nggak beres. Apa karena dia mulai ngerasa akrab dan sok asik? Nggak tau juga…

Kedatangannya mulai susah diprediksi. Kebetulan akhir minggu biasanya kita ke rumah ortu. Kita minta dia dateng hari Sabtu, tapi dia minta dateng hari Minggu. Ya sudahlah… Walaupun jadi nggak bisa mengawasi kerjaannya, yang penting kan dikerjain. Suatu hari, waktu kita nggak kemana-mana, ketauanlah kalau si Mbak suka bawa anak sampai temennya ke rumah. Sori bos, susah untuk nggak berpikir bahwa Anda memilih hari Minggu supaya lebih bebas. Selain bawa orang ke rumah, ternyata datengnya pun sore dan baru selesai menjelang Maghrib. Sebagai calon ibu baru yang juga baru merasakan menggaji ART, mulai BT. Berusaha membuat ART betah dengan pemberian-pemberian tertentu ternyata nggak ngaruh. Malah bikin ngelunjak. Satu lagi, mengetahui si Mbak nggak puasa (bukan karena dapet atau sakit berat) bikin saya tambah nggak sreg *bisa bikin saya kena isu SARA nggak ya? Hehehe*

Akhirnya, sudahlah, hubungan kita berakhir aja… Saya memutuskan untuk nggak pakai ART selama mungkin. Mendingan capek deeeh…

ART 3: Ternyata sumpah saya di atas nggak bertahan lama. Usia kandungan 8 bulan, saya dan suami pindah ke rumah yang guede banget. Sering banjir pula. Perut udah gede. Akhirnya Mertua mengirimkan ART di rumah untuk bersih-bersih di rumah saya juga. Kerjaannya nyuci, seterika, ngepel. Gajinya Rp. 200rb (yang mana saya dimarahin sama mertua karena dianggep kegedean. Pikir saya: masa sih? Kayaknya di rumah Mamah lebih gede lagi gajinya…). Itu sebelum saya tau kelakuannya yang nyebelin. Dari mulai ngambil makanan tanpa ijin, sampai nilep uang kembalian dari warung. Membeli sabun cuci di bawah standar yang saya pake supaya kembaliannya bisa lebih banyak kali ya… (Bayangkan, minta beli Attack dibeliinnya sabun krim Ekonomi).

Oh iya, si Mpok yang ini datengnya 3 kali seminggu. Setelah urut-urut dada beberapa lama dengan kelakuannya, Alhamdulillah Abang lahir dan saya pindah ke rumah Mamah. Jadi mohon maap Mpok, hubungan kita sampai di situ saja…

ART 4: Ini sebenernya ARTnya Mamah. Orangnya cerewet. Tapi, saya pribadi seneng sama beliau. Walaupun Mamah suka protes karena kalo nyikat baju kaya ngulitin kulit buaya, tapi ngerasa cocok banget. Beliau digaji Rp 450rb untuk cucian sekeluarga (termasuk Mamah-Bokap-dan Meeng). Namanya Mbak Tin. Mbak Tin bahkan suka bawain saya katuk biar ASI banyak. Tapi sayang, kebersamaan kami cuma 3 bulan (kurang) saja…

ART 5: Kembali ke rumah. Setelah masa-masa indah bersama Mamah di Cipinang. Dan siap-siap memulai masa-masa repot punya anak yang sebenarnya. Eh, tapi sebelumnya juga saya ngurus sendiri lho… Cuma enaknya ada tempat bertanya dan minta bantuan kapanpun. Hehe.

Tadinya saya berencana untuk punya 1 ART saja. Yaitu yang akan mengasuh Ihya. Eh, nggak dinyana
mertua saya mengirimkan Ibu Rohmah yang sedang jadi ART di rumah mertua saya (yang ke 3 di-PHK juga dari rumah Mertua). Saya memilih buat punya 1 ART aja, alasannya simpel, gegayaan amat, udah kayak orang kaya ART pake dua segala. Tapi, buat mertua saya, pertama, beliau (Ibu mertua) khawatir karena Bu Rohmah ini udah lumayan berumur dan harus nyebrang jalan segala (mertua saya takut banget nyebrang!!). Kedua, mungkin khawatir juga sama saya, kerjaan rumah nggak akan kepegang, secara saya bukan orang rumahan yang rapih dan teratur (baca: males dan berantakan, hehe). Dan, gawatnya lagi, Bu Rohmah udah direlakan begitu saja buat ke rumah saya, jadi sudah tak berhubungan kerja dengan mertua. Ya Alloh, masa saya nggak ambil… Ntar die kerja apaan dong? Akhirnya, dengan berat hati dan berat kantong, kami bersepakat di angka Rp. 350rb. Datang setiap hari (Minggu tentatif). Job desc: Nyuci, seterika baju, ngepel, beberes. Nggak definitif banget sih…”beberes”.

Tapi, pada akhirnya, dengan Bu Rohmah inilah saya ngerasa paling cocok sampai sekarang. Mungkin karena gajinya lebih tinggi dari rata-rata tukang cuci di sini, beliau sangat ringan tangan buat ngerjain apa aja. Kalau rumah ditinggal sama dia udah pasti rapih deh. Nyucinya bersih (walaupun beberapa baju kena pemutih, tapi ya sudahlah…People made mistakes…). Seterikaannya halus. Dan, bisa ngejagain Ihya juga. Jadiii…kalau pengasuhnya Ihya lagi berhalangan, nggak perlu repot. Hohoho. Love you full Bu.

ART 6: Jeng…jeng…Langsung saja, namanya Mpok Nana. Tapi saya manggil dengan “Bu Nana”. Orangnya slebor, agak berantakan, dan nggak bersih-bersih amat. Bikin makanan buat Abang juga nggak kreatip, jadi saya harus masak dulu buat Ihya. Dan…maaf, bukannya rasis, tapi selayaknya orang Betawi pada umumnya, beliau banyak omong. Yang kadang nggak penting dan kebablasan ngomongin orang (termasuk majikannya sendiri).

Sempet ada masa-masa di mana saya bete berat sama dia. Pasalnya, Abang pernah dibawa ke rumahnya tanpa izin. Sumpah, saat itu saya panik banget, sampai nangis-nangis segala…Kalau dibilangin sesuatu juga musti berkali-kali dan diingetin terus. *tarik napas*

Trus, kenapa masih dipertahankan? Pertama, beliau orang kampung situ. Bahkan mungkin kami saudara jauh. People marry their neighbour there… Kedua, kelihatan banget kalau dia perhatian dan sayang sama Abang. Pun Abang bisa deket dengan dia. Sesuatu yang susah dicari. Pada akhirnya, kami berkompromi. Kalau ia sempurna, mau kasih gaji berapa?? Hehehe.

Bu Nana dan Bu Rohmah sampai sekarang masih bekerja dengan saya. Saya sama tidak sempurnanya dengan mereka… Kami berkompromi. Selama bukan yang prinsip-prinsip amat, sudahlah… Dan, lebih dari itu, rumah jadi rame. Walaupun kantong saya sepi. Apapun kekurangan mereka berdua, banyak ibu-ibu yang nggak seberuntung saya dalam hal ini (per-ART-an). Harus banyak bersyukur kan?

Terus, berniat pakai kontrak tertulis? Mau, tapi mungkin nggak sekarang.

(Senin/14 November 2011)

Wednesday, January 11, 2012

Ini yang Membuat Saya Batuk Selama Seminggu



Dengan niat mulia ingin membahagiakan suami dan balas budi ke mertua karena udah dikasih loyang, maka dengan semangat perang kemerdekaan di suatu hari di hari Sabtu saya merencanakan untuk membuat…BROWNIES PANGGANG!!


Yaelah… brwonies kan dulunya adalah kue gagal dan bantet. Apa susahnya sih?? Bahkan ada pepatah (nggak tepat banget sih pemilihan katanya…) yang mengatakan kalau bikin brownies nggak mungkin gagal. Di resep yang gue contek pun mengatakan demikian.

Sepertinya setelah ditimbang-timbang, membuat brownies adalah pilihan yang paling menguntungkan. Kemungkinan gagal minim, dan rasanya pun tetep enak. Tapi sebagai Ibu Masa Kini, saya pingin memberikan “added value” dooong buat brownies ini… Gampang, enak, dan… sehat!!

Nah, berdasarkan analisa serampangan dari group FB yang saya ikuti, kayaknya margarine bisa diganti dengan minyak deh… Pake margarine lemak jenuh. Pake butter mahal pisan. Pake minyak kayaknya adalah pilihan luar biasa. Kebetulan abis beli Canola Oil buat makanannya si Abang (tapi sayang makenya kalo banyak-banyak…hehe).
Oke, pertanyaan selanjutnya adalah… seberapa banyakkah minyak yang harus saya masukkan sebagai pengganti margarine? Lagi-lagi akal sehat mengatakan… ya samain ajalah sama berat margarine-nya!! Susah amat sih…

Setelah dituang, sebenernya timbul pertanyaan yang mengganggu sih, kayaknya dulu bikin brownies margarine cairnya nggak sebanyak ini deh… Terus terigunya kok dikit amat ya? Terus kok gulanya banyak amat ya? Ah… sudahlah, berprasangka baik aja sama pembuat resepnya. Katanya brownies versi dia tuh lembab dan manis. Jadi, intinya, proses pembuatan brownies tetap berjalan dengan “sedikit” improvisasi pada penggunaan minyak sebagai pengganti margarine.

Jantung agak deg-degan saat mendapati adonan yang dikocok tidak kunjung berwarna putih, padahal udah ngembang banget… Dan kemudian, adonan masuk panggangan (dipanggang dengan waktu sesuai resep). Tapi kok nggak mateng ya? Bahkan sampai baunya gosong, nggak mateng-mateng juga…

Oke… Tadi deg-degan, sekarang sebel!! Gagal sudah membahagiakan suami dan tampil ciamik di depan mertua (haha, emang niatnya nggak lurus nih…kikikik). Tapi, kan saya kreatif!! Gimana caranya uang yang keluar nggak boleh sia-sia!!

Akhirnya adonan brownies setengah mateng itu saya uleni dan dicetak kecil-kecil. FYI, selama menguleni tangan saya banjir minyak. Kalo diitung-itung ya bisa segelas lah…hehe. Dan waktu dipanggang lagi pun minyaknya mendidih (kaya kita ngegoreng gitu loh…). Intinya, usaha dicetak kecil-kecil itupun gagal.

Seorang teman menyarankan untuk dikukus. Ya ampuuun… kenapa nggak kepikiran dari tadi sih!! Alhamdulillah brownis gagal (tepatnya 2 kali gagal) itu akhirnya matang. Paling nggak saya yakin browniesnya nggak bikin sakit perut. Tapi satu hal yang luput dari perhitungan saya. Yaitu minyak segelas!! Akhirnya, sukses batuk-batuk sampai seminggu…

Note: Bunny bilang gini…”Please, jangan bilang ke orang-orang kalo kamu masukin minyak segelas ke dalam adonan kue” sambil cekikikan.
FYI, minyak sebagai pengganti margarine itu boleh banget kok… tapi ternyata paling sebanyak 2 sendok makan… Hahahaha.

IDOLA BARU ALA BEBESTAR

Prihatin.
Itu yang pertama kali ada di kepala saya waktu menonton acara siaran tunda kontes Bebestar. Tempatnya, kalau nggak salah di Surabaya atau Jakarta.

Sebenarnya, iklan-iklan Bebelac (merk susu formula yang bikin acara Bebestar) rata-rata berkesan banget buat saya. Yang pertama saya ingat adalah beberapa iklan yang menunjukkan tingkah polah anak-anak yang alami banget. Walaupun tentu saja dicari adegan-adegan yang menggambarkan betapa “lucu, pintar, sehat, dan menggemaskan” nya anak-anak dalam iklan Bebestar, tapi paling nggak, bukan dengan adegan konyol seperti: “loh…kok anak 2 tahun bisa ya…minum susunya apa sih?”. Eee… nggak ada seninya banget tu iklan. Noh, jadi ngelantur kan… Balik lagi ke iklan Bebelac pertama yang saya inget adalah iklan dengan lagu: “you’re my sun…my moon…” dan kemudian menyusul beberapa versi dengan konsep yang kurang lebih sama.

Yang ke dua, kalo nggak salah sih pas boomingnya Piala Dunia, jadi konsep Bebestar-nya diterjemahkan dalam lapangan dengan bayi-bayi tanggung yang sedang bermain bola, dan kemudian ada tim yang menang. Seperti sudah ditebak, mamanya para anggota tim yang menang menangis terharu. Lumayan lucu…

Lalu, yang ke tiga adalah iklan “I want to make clouds…”. Itu indah banget… Adegannya, pengambilan gambarnya, narasinya… Tapi, sayangnya, setelah di-dubbing ke bahasa Indonesia jadi ancur… Dan ada dua iklan dengan versi yang serupa (ralat, bukan iklan bebelac tetapi saya lupa apa merk susunya).

Yang ke empat, iklan anak kecil lagi nyanyi. Yang ini udah iklan Bebestar deh kayaknya, bukan semata-mata Bebelac. Itu lucu, karena anaknya tampak sangat alami…

Yang ke lima (inilah iklan yang sumpah bikin saya ilfeel…), iklan Bebelac dengan anak kecil (yang cuantikkk buangettt) yang lagi speech, dan bilang makasih ke Mamanya. Terus ada ibu-ibu yang nangis di situ… Eh, apa yang mengharukan sih? Sori kid, menurut saya kamu kebangetan diatur dan nggak kelihatan alami…

Terakhir, saat nonton acara Bebestar yang sesungguhnya. Anak-anak balita, didandanin ala orang dewasa (bintang film Hollywood atau boyband Korea…). Disambut di karpet merah bak selebritis dengan penuh gaya… Dan di panggung, mereka menari, bernyanyi, berakting. Ada satu anak yang nge-dance bener-bener seperti orang dewasa. Bisa dibilang Beyonce versi kecil lah… Di titik itu, saya yang nggak terlalu peduli dengan adegan-adegan sebelumnya jadi bener-bener kesel atas pembentukan definisi anak “bintang” versi Bebestar. Sekarang, gimana kita mau protes dengan tayangan televisi yang mayoritas nggak ada gunanya bahkan merusak, kalau di belakang layar pun para orangtua justru menyuburkannya.

Acara reality show yang menebar mimpi orang untuk menjadi bintang (baca: artis, tetapi bukan seniman yang sebenarnya) makin marak, makin ramai. Satu-satunya alasan yang paling masuk akal buat saya adalah karena banyak orang tergoda dengan kehidupan ala bintang. Pakaian bagus, disorot kamera, muncul di infotainment, dan dibayar mahal!! Lebih mahal dari gaji manajer saya. Atau bahkan gaji VP di kantor saya!! Sungguh, saya tidak menganggap remeh pekerjaan seniman. Jika anda Idris Sardi, Adi MS, Erwin Gutawa, Ruth Sahanaya, atau Mathias Muchus (love him!!), you worth for any number as long as people love it. Seni adalah sesuatu yang sulit untuk dinilai dengan rupiah. Saking sulitnya, kadang harganya justru jadi nggak masuk akal.

Dan balik lagi ke anak-anak tadi, sekarang bukan hanya para dewasa, bahkan bukan lagi para remaja, melainkan balita!! Mereka diajak atau diarahkan orangtua mereka untuk jadi seperti itu. Yang baik, yang bagus sekarang adalah anak yang pandai menyanyi, berjoget, dan tak malu di depan kamera. Itu sajakah Ibu? Sedangkal itukah kita ingin anak-anak kita menjadi?

Duh, saya terdengar nyinyir nggak ya? Mohon maaf seribu maaf buat para Ibu yang secara sadar atau nggak mengarahkan anaknya seperti yang saya tuliskan di atas (bukan hanya lewat ajang Bebestar). Saya tetap yakin bahwa Ibu ingin yang terbaik. Tapi, Ibu mungkin tidak atau belum tahu apa yang terbaik itu. Saat kuliah, bukankah kita berkutat dengan teori. Tidak bisakah sejenak saja kita memikirkan kembali, teori kebaikan apa yang ingin kita pelajari dan ajarkan kepada anak-anak kita? Membuka kitab suci atau buku-buku parenting bisa jadi langkah awal yang mudah kan? Tapi, sepertinya bukan dengan melongok televisi.

Bismillah, mari jadi Ibu yang (benar-benar) tahu apa yang terbaik, bukan hanya ingin yang terbaik.

Tulisan ini untuk buah hatiku, Ihya dan
untuk seluruh orangtua di jagat raya.