Friday, February 24, 2012

Ini yang Membuat Saya...

Tersenyum, bahkan tertawa, padahal secara logis sikon berkata “nggak-mungkin-lo-ketawa-pada-waktu-waktu-kaya-gini*.
Nyium-nyium Ihya sampai dia menggeliat melepaskan diri.
Terkaget-kaget, dan kemudian berseru: Subhanallah…!!
Dan yang membuat Papah bertanya serius: “Ihya terbuat dari apa ya?”
Pagi ini, Ihya yang biasanya rajin cium tangan sama siapapun yang mau pergi kecuali sama Ibunya, seperti biasa, dia “protes” karena Ibunya pergi kerja dengan ogah cium tangan apalagi cium pipi dan asik di gendongan pengasuhnya. Tapi tiba-tiba, saat Ibu berkata: “Bang, Ibu pergi dulu ya… dadaaaaah…”, Ihya membalas ber-dadah ria, dan minta diturunkan dari gendongan sambil menjulurkan tangan kanannya (minta salim). Dan ya, saya bahagia…
***
Abang itu, walaupun sudah bisa mencium sambil mengeluarkan suara “bbmmmbbaaahhh!!”, tapi tetep ya… suka mogok juga. Suatu malam, di sebuah restoran, Ayah-Ibu-Ihya-Ami Nawal sedang makan bareng. Ami-nya minta dicium dooong. Pertama sih dia ogah-ogahan, tapi akhirnya bersedia memberi satu ciuman. Yang berlanjut dengan banyak ciuman berikutnya. Tahu kenapa? Karena kita tepokin sambil bilang “Yeaaaaay!! Abang hebat!!”. Yak, anak Influence yang senang tampil dan dipuji sepertinya… *Bapaknya yang sanguinis dan haus perhatian langsung jingkrak-jingkrak, “ANAK GUEEE!!!”*. Tapi tetap saja takjub, waow… Udah punya perasaan juga ya ternyata? Hehe.
***
Suatu hari, Ibu lagi mau manasin motor sebelum berangkat kerja. Gantungan kunci motor memang panjang dan suka berbunyi “krincing-krincing”. Ibu pikir, itulah yang membuat Ihya ngotot mau memegang kunci. Ternyata, setelah dipegang, ia berjinjit sambil mencoba memasukkannya ke lubang kunci. Anak pinteeer!! *kok dia bisa tau yah? Kayaknya nggak pernah diajarin… Naturally born observer, haha*
***
Ibu: “Abaaang, salim dong…”
Abang: Menjulurkan tangan
Ibu: Menyambut dengan riang gembira
Abang: Narik tangannya sambil ketawa tengil… *tepok jidat*
***
Abang: Nenen!
Ibu: Nih…
Abang: Hhhhaaaabbbbhhh!! (baca: mangap dengan semangat menuju sumber makanan-tapi kemudian menjauh sambil ketawa tengil…)
***
Neda (Nenek Bunda): Abaaang!! Katanya punya sendal baru ya?
Abang: Bangkit, berjalan menuju tas, dan kemudian ngorek-ngorek isi tas (yang diasumsikan sebagai: “sendal baru gue mana yah?”).
Asumsi yang berlebihan? Nggak juga, baca cerita setelah ini.
***
Suatu hari, Ibu yang akhirnya kasihan ngeliat Abang nenangga pake sepatu berinisiatif tinggi membelikan sendal gabus yang ringan. Warnanya merah-ijo tosca. And I guessed he loved it!! Pertama, di awal-awal sendal itu dibeli, Ihya maunya kemana-mana pake sendal, termasuk pas digendong maupun tidur. Kedua, dengan antusias Ihya menunjuk-nunjuk sendal itu ke orang-orang… *Alhamdulillah deh kalo seneng*
***
Ihya saya ajarkan baca doa, terutama sebelum makan dan sebelum tidur (karena itulah dua aktivitas utamanya, haha). Jangan bayangin dia baca doa dengan tartil ya… Yang doa Ibu-Bapaknya kok, tapi kami ajarkan Ihya mengangkat tangan dan menyapu muka setelah berdoa. Kadang Abang masih suka lupa untuk mengangkat tangan kalau kita berdoa. Atau mungkin dia terlalu ngantuk atau laper. Alhamdulillah, seringnya sih udah otomatis. Itu aja buat saya udah hebat “anak kecil gampang banget ya diajarin. Makanya ngajarin anak kudu dengan tauladan yang baik yah!!”. Tapi bagian yang bikin ketawa adalah: Abang suka nggak sabar, AMIN duluan deh…
***
Sebenernya masih buanyak kejadian lainnya. Tapi baru segitu yang saya inget dan bisa digambarkan cukup jelas lewat tulisan. Kalau inget lagi, bakal ditambahin deeeh… Oia, satu lagi, nggak cuma senyum, ketawa, atau perilaku anak manis lainnya. Abang juga bisa menunjukkan emosi kesalnya. Biasanya sih dia bakal nabok muka orang terdekatnya. Atau melempar barang yang dia pegang. Atau nangis sambil sujud. Sejauh ini kami akan ngebilangin sambil menahan tangannya, atau memotivasi dia untuk nggak nangis, atau berbicara selayaknya menjelaskan kepada orang dewasa. Kadang berhasil. Kadang nggak.
Kalau lagi kayak gitu, baru ngerasa banget deh, menjadi orangtua itu tanggungjawabnya berat. Amat berat. Tapi, selayaknya ujian, ia bisa menjadi ladang amal. Ihya: Investasi akhirat. Dan sifat dasar investasi adalah: hasilnya akan terlihat di akhir. High risk, high return… Kami akan berikan yang terbaik sebanyak-banyaknya. Dan kami akan berusaha terus melebarkan kemampuan kami. Love you, Nak…

Banjir yang Mengajarkan Saya Banyak Hal


Saya suka musim hujan!!



Mungkin alasannya karena saya suka air.

Walaupun tak mahir, saya juga suka berenang. Saya tak keberatan menembus hujan kalau tiba-tiba hujan datang pas saya sedang mengendarai motor (kecuali kalau bawa laptop dan nggak bawa jas hujan). Salah satu pengalaman wisata terdahsyat saya adalah berendam di Green Canyon. Saya juga lebih suka ke laut daripada ke gunung, karena bisa main air sepuasnya…

Intinya, cinta air dan cinta hujan!! (jangan-jangan dulu lahir di tahun Macan Air??)

Dan kurang lebih satu tahun lalu (sampai dengan sekarang) bertambah lagi satu alasan yang saya miliki untuk mencintai hujan: karena hujan mengajarkan saya arti sabar, ikhlas, itsar, dan tetap berpikir positif dalam segala sesuatu. Belajar bukan berarti sekarang sudah gape lho ya… Tapi saya yakin saya sudah jauh lebih baik dalam empat hal tersebut.

Mengapakah hujan bisa mengajarkan saya untuk sabar, ikhlas, itsar, dan tetap positif? Jadi gini, tanggal 24 Oktober 2010, saya pindah ke rumah milik mertua yang saya tempati saat ini. Tadinya ni rumah agak berantakan dan maaf, jorok. Akibat perawatan yang kurang baik dari penghuni sebelumnya. Tapi, begitu kami mau pindah, Papa Mertua saya langsung mendandani rumah ini sebaik yang ia bisa. Papah pun ikut sumbang saran. Dan, Alhamdulillah, rumah ini tampak jauuuh lebih cantik. Hari Minggu itu, saya, Bunny, dan Papa Mertua, bersih-bersih akhir sebelum rumah itu ditempati. Karena pas sore hari rumah ini sudah terlihat bersih, akhirnya malam itu kami memutuskan untuk secara resmi tidur di sana dan menyandang status sebagai penghuninya.

Esoknya, kenikmatan besar buat perempuan hamil tua seperti saya pun datang: rumah deket!! Aseeek, nggak perlu dua jam di jalan dan pinggul senat-senut nggak karuan…!! Pulang kerja pun asik, karena bisa bareng Bu Wati yang naik taksi. Horeee!!

Tapi malam itu, bahkan saat saya belum genap 24 jam menempati rumah tersebut, hujan besar datang. Ternyata cukup besar untuk membuat air kali naik, jalanan banjir dan macet total, rumah kami banjir, dan saya tercekat dan menangis. Ya Allah, saya tahu rumah ini rawan banjir, tapi haruskah banjir tersebut datang di malam kedua kami tinggal di sana?

Saya menangis. Tangisan yang panjang. Banyak jeda, tapi sungguh saya bersedih amat lama. Apalagi saya juga mendapati bahwa tidak butuh waktu lama untuk datangnya banjir kedua, ketiga, keempat, sampai (sepanjang yang saya ingat sampai sebelum saya melahirkan) kedelapan. Dua bulan, dan kami delapan kali kebanjiran.
Yang bilang saya lebay, yuk mari, cobain…

Selama dua bulan tersebut saya merengek-rengek minta pindah kepada suami saya. Kami punya uang, tapi saya sebentar lagi melahirkan. Pindah rumah sepertinya sulit, tapi bukan nggak mungkin. Namun, semua alasan logis yang saya punya runtuh untuk satu hal: Papa. Walaupun tidak pernah menyatakan secara eksplisit, tapi kami tahu, ia begitu bangga bisa memberi kami tempat berteduh. Bunda juga ingin kami tinggal di dekatnya, paling tidak untuk sementara, agar hubungan keluarga tak terputus begitu saja. Ia ingin kami (terutama saya) punya kesempatan lebih untuk dekat dengan adik-adik dan keluarga suami. Dan Papa, sungguh, ia begitu baik. Sangat baik.

Waktu pun berlalu, saya melahirkan dan tinggal dengan Mamah dan Papah selama 3 bulan cuti melahirkan. Masa yang membahagiakan karena saya nggak harus mikirin “hari ini banjir apa nggak”. Selama 3 bulan tersebut saya lancarkan semua jurus yang saya punya untuk membujuk suami pindah dari rumah. Ia tetap menolak. *Semoga syurga untuk kamu Bun, atas kecintaan kamu yang besar buat orangtuamu*. Okay, saya memberinya ultimatum. Kita akan kembali ke rumah tersebut. Tapi jika sekali saja kita kebanjiran, kita pindah. Bunny setuju.

Beberapa bulan setelah kembali ke rumah besar ini perlahan-lahan saya mulai merasa kerasan… Ada Ihya yang memenuhi kepala saya. Nggak mikirin banjir deh pokoknya. Tapi saya lupa satu hal, ya iyalah nggak banjir, lha wong itu musim kemarau!! Dan kemudian, begitu musim berganti, hujan datang. Oke…mulai deg-degan… *tapi masih belum banjir*.

Kamipun optimis banjir nggak akan datang lagi. Haha, ternyata terlalu optimis. Banjir datang lagi. Namun, karena rasa cinta saya sudah mulai tumbuh pada rumah ini, saya nggak sekonyong-konyong minta pindah. Lagian saya sadar diri, Bunny juga pasti pusing mikirinnya…Hehe.

Sekali, dua kali, tiga kali… Lho, kok banjirnya berkali-kali ya???!!! Tapi, sejujurnya saya lumayan takjub sama diri saya sendiri saat itu. Saya masih sedih, masih nangis, masih pingin pindah… Tapi dengan frekuensi yang jauh berkurang. Saya pun bisa berdiskusi dengan lebih mengedepankan logika daripada emosi dengan suami saya. Namun, fase itu tetap berat… Sampai suatu hari saya “ditampar” sama salah seorang teman kantor karena ia bilang saya terlalu banyak mengeluh soal itu. Saya diam dan mikir: “iya ya?”. Saya putuskan untuk memikirkannya lebih dalam. 
Nggak gampang memang untuk mengakui hal tersebut.

Awalnya, saya mikir, “ya iyalah lo ngomong begitu, belum pernah ngerasain sih…”. Tapi kemudian, saya juga memikirkan betapa tidak produktifnya saya saat itu. Ini bukan cuma soal banjir. Secara otomatis membicarakan banjir bisa membuat diskusi saya dengan suami menjadi tidak teratur dan bikin naik darah. Dan bahkan menambah beban pikiran saat di kantor atau saat bersama Ihya. Luar biasa ya?

Akhirnya, saya coba untuk “mengalah” setelah satu tahun ini saya membangun benteng hati dan pikiran. Saya coba untuk meruntuhkan benteng itu. Gampangnya, kalau ternyata merobohkan benteng itu ternyata nggak enak, ya udah, saya bangun lagi aja…

Buat saya yang suka ngasih training tentang berpikir positif lah, stress management lah, comfort zone lah…ini juga jadi tantangan tersendiri. Buktiin kalo lo nggak cuma ngomong doang. Ya Allah…bentengnya besar banget…Berat banget menggesernya. Tapi saya berusaha hancurkan sedikit demi sedikit. Sampai habis. Ya, sampai habis. Berapa lama waktu yang saya habiskan? Nggak lama, paling 1 bulan. Kurang.

Pikiran yang menghantui saya selama lebih dari setahun sekarang hilang… Kalaupun ia muncul lagi, nggak sulit kok menghilangkannya. Saat itulah saya sadar… Allah sedang mengajarkan saya hal-hal baik. Untuk berpikir positif pada hidup. Untuk ikhlas pada takdir. Untuk mendahulukan kepentingan orang lain yang baik. Untuk sabar menunggu banjir surut. DIA juga mengingatkan saya, bahwa tinggal di rumah ini memberikan banyak hal baik. Banyak rizki. Bayangkan, saya bisa nengok anak pas istirahat siang!!!!! Nggak banyak ibu bekerja yang dikasih kenikmatan macam itu. Badan juga tidak seberapa lelah saat sampai di rumah. Masih kuat buat ngajak Ihya main bola. Ditambah lagi uang yang bisa dihemat untuk bayar kontrakan. Apakah itu bukan rizki namanya?

Ini cuma soal skenario apa yang Allah kasih… Jatah saya lewat hujan dan banjir. Jatah Anda mungkin berbeda, tinggal bagaimana kita memaknainya.