Tuesday, March 27, 2012

Waw… 18 Tahun

Sebelumnya, mohon maaf yah, buat yang bosen gara-gara postingan berikutnya kembali bertema ulang tahun. Mau gimana dong… Ulang tahun saya dan Mega hanya terpaut 2 minggu…

Tahun ini, tepatnya tanggal 26 Maret kemarin Mega sudah menginjak usia 18 tahun. Udah gede juga ya Dek… Dulu, saya tak ubahnya nenek cerewet buat Mega. Menuntutnya macam-macam. Membandingkan dia dengan saya di masa lalu yang saya anggap lebih baik. Terlepas dari mana yang sebenarnya lebih baik, saya tahu (pada akhirnya) bahwa membandingkan bukanlah hal yang tepat dan cenderung lebih banyak mudharat daripada manfaatnya.

Saya juga sempat bosan sebosan-bosannya dengan keluhan Mama tentang Adik saya ini. Yang begini dan begitu. Pada akhirnya saya bisa minta maaf jika kita sebagai keluarga pernah melukai satu sama lain dengan sengaja maupun tidak.

Tapi saya tahu, dan jelas merasakan, bahwa Mega mendewasa. Caranya menyampaikan pendapat, caranya berkomunikasi, binar mata saat ia mengajak saya mengobrol, kegiata-kegiatannya yang terbilang positif, dan banyak hal lain. Sampai akhirnya di suatu hari kami janjian untuk makan di Steak 21 Penvill dan melihat adik saya mengenakan jilbab. Saya menangis, bahagia tentunya… Karena saya termasuk yang percaya bahwa kita mengenakan jilbab bukan karena “sudah baik” tapi justru untuk “jadi baik”.

Saya teringat waktu Mega berumur beberapa hari. Ia bangun pagi-pagi, sekitar jam 5. Dahlia usia 8 tahun saat itu masih jarang shalat subuh dan nggak biasa bangun pagi. Tapi saya senang. Saya ingat betapa saya sangat sayang dengan Mega kecil. Di usia Mega yang ke-3 bulan, saya baru diperbolehkan Mama untuk menggendong Mega. Seneeeng banget rasanya jadi Kakak. Saking senengnya, sampai sekarang saya masih ingat baju apa yang saya pakai saat itu. Terlepas perasaan itu akhirnya turun naik ya…Hehe. Ada kalanya saya sebeeeeel banget. Tapi hari ini, saya cuma punya rasa sayang dan bangga.

Sayang karena Papah pernah titip pesan ke saya: (kurang lebih redaksinya begini…) “Kalian bersaudara cuma berdua. Rukun-rukun sampai akhir. Jangan berpecah belah”. Dan jelas hubungan yang hambar tidak masuk di dalamnya. Kalopun ada kesel-kesel dikit, ya itu bentuk sayang juga lah Dek… Hanya ingin supaya Mega jadi orang yang lebih baik.

Bangga karena… Ya gimana nggak bangga… Mega tuh pinter, aktif, dan… sepertinya pengamatan menunjukkan Mega lebih baik dari waktu ke waktu. Nggak ada iri sama sekali.

Terakhir, sebenernya tulisan panjang-panjang gini cuma mau bilang “Selamat Ulang Tahun”. Kakak sayaaang banget sama kamu. Semoga dari ke hari yang ada hanya kebaikan dan perbaikan. Dan semoga Allah mengumpulkan kita kelak di syurga-Nya *mudah-mudahan nggak pake mampir ke neraka dulu…*.

Dan, sementara Kakak nggak bisa ngasih cheese cake, gambarnya dulu ya... Hehe


Si Nggak Romantis yang Romantis

Siapa lagi kalau bukan Hisyami Adib Asyrofi.

Hari Senin kemarin, 12 Maret, saya ulangtahun yang ke...26. Ulangtahun itu terjadi tiap tahun kan yah? Jadi sebenernya nggak ada yang terlalu spesial sih... Tapi, saya nggak berani bilang kalau ulang tahun itu sesuatu yang “biasa aja”. Karena di momen ulang tahun lah biasanya saya jadi bener-bener sadar kalau nikmat Allah BANYAK BANGET!! Bunny, Ihya, Punya Kerjaan, Punya Laptop Baru *uhuuuy...*, Nggak Sakit-sakitan, dan banyaaaaak lagi lainnya. Dan buat ke orang lain, momen ulangtahun adalah saat di mana saya ingat untuk berbagi kasih sama orang-orang tersayang lewat kado atau kejutan.

Nah, tulisan ini tentang suami saya yang nggak romantis dan geli banget kalo terlalu disayang-sayang. Tapi kadang bisa sangat romantis dan manja. Itu yang pertama.

Kedua, tadinya saya sempet nebak kalo laptop akan jadi hadiah kejutan pas ulang tahun. Tapi, berhubung saya nggak ngarep, dan udah nggak sabar mau punya laptop baru, jadilah laptop dibeli sebelum saya ultah. Pas ada pameran juga...jadi lumayan hemat.

Dengan dua fakta di atas (jiaelah...fakta...), saya cukup yakin Syami nggak akan ngasih kado. Hehe. Makanya, begitu nerima benda ini:


pas lagi jam kerja, langsung terharu dan Munir sebagai kurir terasa jauh lebih tampan. Hehe.

Sungguh deh, bukan karena hadiahnya. Mahal atau nggaknya. Tapi karena perhatiannya… Kurang lebih 2 tahun yang lalu, Syami bukan siapa-siapa buat saya. Tapi semenjak akad nikah sampai sekarang, mau nggak mau dialah sahabat saya. Satu-satunya manusia di mana saya hampir nggak punya rahasia. Tempat mengeluh dan berbagi. Keberadaannya, kebaikannya sudah merupakan kado untuk saya setiap hari.

Tapiiiii…ngaku kok, setiap orang kayaknya pasti seneng yang namanya dikasih hadiah, termasuk saya. Apalagi kalau seindah ini, tanpa diduga-duga pula... Maksih ya Buuun… J


*BTW, mohon maaf kalau postingannya agak telat… Beberapa hari ini agak nggak akrab sama laptop. Please enjoy and get inspired*

Thursday, March 15, 2012

Yuk Mari Kita Pameeer... Episode Schotel

Ketimbang pamer di FB yang terlalu banyak insan yang saya kenal di sana, lebih baik pamer di blog aja aaaaah... Ini dia: Fussili Schotel ala amateur chef Dahlia!!

Bikin pasta schotel itu sebenernya di cocok-cocokan komposisi. Bayangin aja, bahan-bahan emang udah enak dari sononya. Untuk pasta schotel sendiri, saya lebih seneng yang teksturnya lembek ketimbang yang padat. Kalo padat kesannya kebanyakan terigu (emang kebanyakan terigu sih...) dan  kurang “creamy”. Dan berhubung saya nggak pake taker-takeran, jadi emang banyak main perasaan. Hehe.

Biasanya saya pakai susu UHT, tapi berdasarkan petuah seorang teman, saya coba kali ini nggak pakai susu, melainkan menggantinya dengan air kaldu. Dan hasilnya menurut saya enak :)

Jangan lupa taburkan oregano, supaya berasa Italia nya... Hehe.

Paprika, nggak selalu ada, tapi selalu berhasil buat bikin tambah enak.

Lalu, berhubung suami adalah penggemar berat keju (suka nggrages keju di kulkas), pakai topping Kraft Quick Melt sukses bikin suami merem melek :p

Terakhir, dan amat penting: masukin sayur-sayuran sebanyak mungkin selama masih pantes. Hehe. Jadi, bikin schotel sebenrnya untuk mempermudah pemberian MPASI buat Abang, karena biasanya kami suka pergi pas akhir minggu. 
Jadi, sayur-sayuran harus masuk dan no MSG. Garam juga secuprit aja asal ada semburat asin, biasanya rasa asinnya bisa tertolong dengan sambal botolan kok J.

Oke, sekian pamer kali ini. Sebelumnya sempet mau pamer tentang Vanilla & Chocoffee Cupcakes, tapi keburu nggak mood karena laptop ilang dan kelamaan ngapdetnya. *Ini aja Alhamdulillah masih inget, wong masaknya hari Sabtu minggu lalu...*. Semoga berlanjut dengan pamer-pamer selanjutnya (baca: proyek masak-memasak berikutnya).

Sunday, March 11, 2012

Tentang Pendidikan Anak

Hadeh, namanya juga emak-emak ya... Isi blognya nggak jauh dari soal anak, keluarga, anak lagi, keluarga lagi... Hehe. Dan kali ini, saya lagi kepikiran soal pendidikan anak. Yak, saya memang sarjana psikologi, pasti orang akan berasumsi bahwa “lo mestinya tahu dan nggak bingung dooong...”. Nggak, saya tetap bingung, walaupun sedikit banyak saya tahu tentang perkembangan anak. Dan tentunya banyak dari mata kuliah yang saya ikuti dulu bersinggungan dengan pendidikan, sekolah, dsj (dan sejenisnya). Sayapun sempat menjadi perancang kurikulum sosial di sebuah sekolah. Dan bahkan menjadi guru level SMA di sebuah sekolah yang “tidak biasa” (positif loh maksudnya...).

Sekarang usia Ihya 15 bulan. Kalau kami berniat memasukkan Ihya ke KB (Kelompok Bermain), berarti waktu yang tersisa bagi kami untuk berpikir tinggal 21 bulan. Ini belum ngomongin soal biaya pendidikan yang bikin nganga sampe mulut pegel ya... Baru soal memilih sekolah (atau mungkin lebih tepatnya jenis sekolah) yang tepat dan sesuai dengan visi kami dalam mendidik anak-anak kami (btw, kalo dari tadi saya menyebut “kami”, itu berarti saya dan suami ya...).

Saya rasa, setiap orang tua akan setuju bahwa hal yang terpenting adalah pendidikan moral dan akhlak sesuai dengan rujukan terpercaya dalam masing-masing keluarga. Untuk kami yang beragama Islam, ya sesuai Al-Quran dan Sunnah. Buat yang beragama lain, ya sesuai dengan kitab suci dan keyakinannya masing-masing. Dan buat yang nggak memeluk agama apapun, pasti tetap memiliki standar nilai-nilainya sendiri. Dan, pendidikan moral-akhlak ini bukan sekedar soal hapalan surat atau belajar mengaji ya... Itu penting, titik, tapi bukan sekedar itu (jadi apaaaaa?? Hehe).

Cinta pada Allah dan Rasulullah. Beradab baik. Berbuat dan melangkah atas dasar takwa. Itu susah. Nggak ada sekolah yang menjanjikan hal-hal tersebut, karena menurut saya, hal tersebut memang bukan jatahnya sekolah, itu adalah jatahnya orangtua. Tapi, seperti diketahui bersama, anak (kecil-remaja) adalah makhluk yang cerdas, pintar, dan luar biasa mudah untuk menyerap apapun yang menarik hati dan pikirannya. Sementara secara emosional, mereka belum matang. Baik hari ini belum membuat urusan selesai, karena esok hari mungkin ada pengaruh kurang baik yang singgah pada mereka. Dan kematangan emosional yang belum sempurna bisa menyebabkan mereka tertarik atau memilih hal yang kurang baik tersebut. Jadi, ini bukan cuma soal menanamkan apa yang menjadi “jatah” orang tua seperti yang saya sebutkan di atas, tetapi memilihkan lingkungan yang tepat untuk memelihara dan menjaga apa yang sudah ditanamkan.

Nah, bagian yang “tricky”-nya lagi adalah... Memberikan yang terbaik tidak selalu memberikan yang baik-baik. Sepakat nggak? Kadang... sakit, pedih, susah, jelek, pada taraf tertentu justru makin menguatkan pribadi anak menjadi individu yang baik, tahan banting, atau banyak predikat positif lainnya.

Itulah yang menjadi pegangan utama, akhlak. *hela napas panjang-panjang...*. Kecerdasan intelektual? Penting juga dong... Tapi saya sepakat dengan Aki Gardner bahwa kecerdasan bukan sebatas yang bersifat logis atau matematis. Jadi soal itu, saya akan berusaha agar-agar anak-anak kami kelak berkembang sesuai dengan bakat dan passion-nya.

Oke, balik pada topik semula, soal memilih pendidikan untuk anak. Kalau boleh disimpulkan, saat ini pendidikan ada yang berlangsung di dalam institusi tertentu dan di rumah (homeschooling). Daaan... Soal ini pun kami belum bahas tuntas. Hahaha.

Okeh, saya pasti akan bahas ini dengan suami soal ini. Saya sempat tergoda, sangat tergoda dengan homeschooling. Sebenernya ide homeschooling sudah agak lama masuk peti. Tapi gara-gara baca bukunya Ayah Edi, jadi kepikiran lagi deh... Idealnya, homeschooling (sebut dengan sekolah rumah aja ya...) akan memberikan pendidikan yang telah dikustomisasi sedemikian rupa dengan bakat dan kebutuhan anak. Untuk anak yang senang melukis, misalnya, maka hal itulah yang harus senantiasa diasah dan dikembangkan. Sedangkan hal yang lain mendapat porsi wajar-seadanya saja. Soal hubungan sosial dengan anak lain pun nggak serta merta tertutup kok. Kan ada teman sepermainan di rumah, kakak-adik, atau komunitas sekolah rumah yang sekarang sudah mulai banyak. Peran serta dan keterlibatan orangtua yang besar juga memperbesar kesempatan anak-orangtua untuk membangun ikatan emosional yang kuat.

Aih, indahnya. Untuk saat ini saya cuma bisa bilang bahwa sekolah rumah yang belum awam dan kebutuhan akan komitmen orangtua yang luar biasa bikin saya deg-degan dan masih belum berani mengambil pilihan ini.

Umm, oke, ini mungkin menyebalkan, tapi sepertinya tulisan ini akan bersambung, karena tadinya arah tulisan saya bukan ke sini, tapi kok jadi dalem banget ya... hehe. Sekalian cari tahu lebih banyak tentang berbagai pilihan metode pendidikan.

(bersambung... *Ya Allah, kuatkan niatku untuk menulis sambungannya, hehe*)