Wednesday, April 18, 2012

Rumah Impian

Kalau ditanya, hal duniawi (materi) apa yang paling saya inginkan saat ini, jawaban spontannya adalah: Rumah. Rumah adalah simbol keamanan buat saya. Hehe. Lebay nggak sih? Ya... terserah deh... Intinya, bener-bener pingiiin banget punya rumah sendiri.

Pertama, mungkin karena Papah dan Mamah belum punya rumah sampai sekarang. Selain itu, tanah mereka satu-satunya dijual, yang salah satu tujuannya adalah untuk membayar admission fee masuk UI.

Kedua, mungkin karena saya perempuan. Senang atau punya kecenderungan senang pada keindahan. Dan buat saya rumah itu seperti sebuah kanvas besar bagi seorang pelukis.

Melenceng dikit, Astaghfirullah... Punya rumah di Jakarta yang ideal itu susah. Kadang terasa hampir mustahil. Oww, mungkin ada yang komentar:

“Ya elu cari rumah di Jakarta...”. Itu karena saya masih mau jadi karyawan dan nggak mau menghabiskan waktu terlalu lama di jalan demi ketemu anak saya lebih lama.
“Belagu sih...cari rumah kok ya di daerah Cipinang atau Mampang...”. Itu juga demi Ihya bisa dititipin di rumah neneknya. Daripada berduaan sama asisten, kegiatan nggak jelas, nggak ada yang kontrol pula...
“Ya jangan kerja lah kalo kaya gitu”. Langsung diem, tutup muka pake bantal terus tidur...
Melenceng banyak, geram rasanya rumah-rumah mewah tak berpenghuni ramai dibangun. Sementara untuk rakyat kecil membeli rumah adalah impian yang amat besar.

Oke, balik lagi... Kalau ditanya rumah impian saya seperti apa, ini daftar yang saya punya:
      -       Tidak terlalu luas, tapi nggak terlalu sempit.
Saya cukup sadar Jakarta sudah padat. Saya juga ingin menyisakan ruang-ruang untuk resapan air. Lebih baik ditingkat ke atas daripada menyemen lahan baru.
      -       Ada minimal 4 kamar
Untuk saya dan Syami, untuk anak laki-laki, anak perempuan, dan tamu.
      -       Jendela yang lebar-lebar
Karena nggak pakai AC adalah harga koma (udah kritis deket mati), jadi sirkulasi udara yang baik adalah mutlak.
      -       Punya jendela kaya gini di kamar:
belakangan saya tahu namanya bay window
-       Kusen jendela warna putih
      -       Punya taman belakang
Soalnya males banget kan kalo harus pakai jilbab dulu buat jemur pakaian.
      -       Desain sederhana
Bahasa kerennya rumah minimalis. Ini sesuai dengan petunjuknya Nate Berkus: jangan terlalu banyak detail yang tetap pada rumah Anda. Karena siapa yang tahu suatu hari kita bakal bosan atau modelnya udah terlampau jadul. Nggak mau kan musti renovasi macem-macem cuma untuk ganti suasana?
      -       Ada pagar kayu di depan rumah.
Sebagai orang introvert mungkin saya nggak seterbuka itu ya... Pinginnya tetep punya pagar rumah sebagai pembatas ruang umum dan privat, tetapi nggak usah terlalu tinggi.
      -       Letaknya di Jakarta
Umm, lebih spesifiknya: deket rumah Mamah atau rumah Bunda *ngakak sendiri*
      -       Nggak banjir
      -       Dinding dengan foto-foto keluarga
      -       Warna dominan dengan warna-warna pastel. Pokoknya yang adem-adem...
      -       Udah

Nggak banyak kan? Jadi, ada yang mau ngasih?

Books for Ihya

Ini adalah warisan leluhur yang HARUS saya pertahankan!! Doyan baca. Doyan buku.

Eh, kenapa saya bilang warisan leluhur (maaf ya Papahku, ini cuma hiperbola doang, bukan berarti Papah adalah leluhur, hehehe)? Karena Papah lah yang membuat saya doyan baca. Seperti kata Meeng, belanja sama Mamah, beli buku sama Papah. Beliau amat sangat mendorong kami untuk suka baca. Nggak terhitung banyaknya *lebay* buku cerita dan komik yang saya punya. Sayangnya saat itu saya belum pandai merawat buku, jadilah banyak yang hilang tak berbekas. Ditambah lagi rutin langganan Bobo sampai kelas 6 SD yang kemudian diikuti oleh adik saya. Intinya, saya, Mega, dan Papah adalah trio doyan buku.

Prinsip Papah, yang penting suka dulu sama buku. Masalah ngerti atau nggak, masalah buku pelajaran atau komik, itu belakangan. Bisa diterima sih... Kalau sudah suka sama buku, berarti suka membaca. Membaca adalah gerbang kemampuan bahasa dan analisa :). Serius, saya nggak punya target macem-macem di usia Ihya saat ini. Saya tahu, masa 5 tahun pertama adalah masa-masa emas. Tapi untuk menanamkan dan membentuk keterampilan tertentu, saat ini nggak lah. Saya hanya ingin Ihya senang dengan buku. Kalaupun hal itu akan jadi agenda di masa mendatang, saya ingin Ihya menikmati setiap prosesnya.

Saya sendiri masih suka baca. Cuma sudah agak berkurang nih... Degradasi dimulai saat saya mulai menggunakan motor sebagai alat transportasi. Walhasil waktu senggang di angkot atau KRL yang biasa digunakan untuk membaca juga berkurang.

Tapi, tetep lah... Saya bertekad untuk membuat Ihya suka membaca (dan menulis). Tadinya saya pikir “nanti aja lah” untuk beli buku untuk Ihya. Sampai sang Tante Mega baik hati membelikan 3 buku ini untuk Ihya:
 


Yang membuat saya bersemangat membeli buku ini untuk Ihya:

Dan kemudian ngiler untuk membelikan yang ini:

Setelah mencoba menggunakan buku-buku tersebut untuk “kencan” bersama Ihya, saya jadi bener-bener sadar betapa besarnya manfaat buku. Ihya terlihat sangat antusias dengan gambar dan warna yang disajikan. Tentu saja Ihya nggak bisa duduk tenang dalam waktu lama untuk mendengarkan saya membaca. Tapi melihat gayanya yang sok tahu itu bikin saya jadi senyum-senyum sendiri :).

Misalnya nih, kalau sudah saya ajak baca buku, maka Ihya akan pasang posisi tiduran sambil mengangkat buku ke atas, tengkurap dan memasang buku di depannya, atau nyelip di posisi depan supaya bisa melihat bukunya.
Selain itu, sudah ada tambahan kosakata baru lho...

Baca (diucapkan dengan jelas),

Ikan (diucapkan dengan jelas),

King (maksudnya kepiting), dan

Shhh (untuk Shark).

Jadi... Intinya, jangan takut berinvestasi buku untuk anak-anak. Insya Allah besar manfaatnya. Kunantikan karyamu (buku) suatu hari Ihya anakku... *seperti Papah masih menanti saya menulis buku. Hehe*

Ini Jilbabku, Mana Jilbabmu? :)

Since that now I have nothing to do, let’s write something :)

Saat ini, satu berkah yang mungkin sering lupa untuk saya syukuri adalah jilbab. Bukan hanya jilbab yang saya kenakan, tetapi juga jilbab yang dikenakan oleh 2 wanita yang saya cintai: Mamah dan Adek. Disadari atau nggak, jilbab ini lah yang melindungi saya dari berbagai hal. *Subhanallah ya... Allah tuh cinta banget sama perempuan!!*. Mulai dari panas yang menyengat dan bikin kulit item. Melindungi saya dari keterlambatan karena nggak musti nyisir rambut dan mengalami episode bad hair day. Melindungi saya dari mulut-mulut dan mata-mata yang jahil. Dan terutama melindungi saya dengan memberikan rasa takut dan malu untuk bertindak sembarangan.

Dari dulu saya punya satu semboyan tentang jilbab. Jilbab itu dipakai bukan karena SUDAH baik, tetapi untuk JADI baik.

Inilah yang menyemangati saya untuk pakai jilbab walaupun dulu diri nista-senista-nistanya. Hehehe. Umm, saya harus jujur... walaupun saya ngaji dari usia TK sampai tamat SD, walaupun saya pinter ngaji, walaupun saya suka ikut LOKETA (lomba keterampilan agama, tahu kan??), walaupun saya nggak tipe yang suka memakai baju kurang bahan, tapi saya jarang banget sholat. Nah, sholat aja jarang, gimana orang tua saya nggak kaget waktu saya bilang mau pakai jilbab??

Alhamdulillah sampai sekarang saya masih berjilbab. Tanpa menafikan segala hina dan cacat yang masih saya punya. Allah lah yang melindungi cacat dan aib saya. Alhamdulillah juga sekarang bisa dibilang buanyaaak buanget perempuan yang (bahkan ada waria yang) memakai jilbab. Contohnya di ruangan HRD tempat saya kerja: dari 10 perempuan, 5 mengenakan jilbab. 1 orang memang beragama kristiani. Kabar yang cukup menggembirakan kan? Waktu saya pertama kali memakai jilbab, jelas nggak sebanyak sekarang. Dan sebelum masa saya memakai jilbab, jumlahnya jelas lebih sedikit lagi.

Jilbab dan pakaian muslimah sekarang juga cantik-cantik dan indah-indah. Di satu sisi saya bersyukur, bahwa mungkin inilah yang mengundang banyak perempuan memutuskan untuk memakai jilbab. Paling nggak mereka bisa mencoret “tampil membosankan dan tidak menarik” dari daftar hal-hal yang dikhawatirkan saat mulai memakai jilbab.

Namun, sejatinya, ada dua hikmah utama Allah memerintahkan perempuan mengenakan jilbab: menunjukkan identitas sebagai muslimah dan melindungi diri. Maka jilbab yang kita kenakan tak bolehlah justru melenceng dari identitas kemuslimahan kita dan tidak justru membuat kita tak aman, ya kan? Misalnya dengan ber-tabarruj, longgar terhadap aurat (misalnya pake legging ketat-ketat kitu), tidak mengurai jilbabnya hingga ke dada, atau longgar dalam hubungan laki-laki dan perempuan. Susah sudah pasti... *tahu lah yang pernah muda...hehe*. Namun, saya yakin, dalam hal apapun bukanlah periode santai dan enak yang membawa kita ke jenjang kesuksesan, melainkan yang sesak dan berdarah-darah *episode masokis, hehe*.

Hhh... pada akhirnya cuma bisa toyor kepala sendiri atas kebobrokan diri yang masih banyak buanget. Sambil bersyukur atas sunnah menikah. Analoginya, satpam yang jaga berdua bisa lebih nggak ngantuk dan berani saat ngegrebek maling, hehe *analogi yang aneh...*. Oke, yang ini serius... Sesama muslimah, marilah kita saling menjaga dan mengingatkan. Plus mendoakan yang belum berjilbab agar segera berjilbab. Tentu saja dengan hati yang setulus mungkin, tanpa tendensi apa-apa, apalagi untuk pamer keshalihan diri *Astaghfirullah...*. Secanggih apapun jilbab di jaman kini, patokannya tetap tak pernah berubah dari 14 abad lalu, Al Quran dan Sunnah J

Note: Btw, tahukah Anda, tanggal 4 September adalah International Jilbab Day *wuow, baru tahu juga saya...*

Tuesday, April 10, 2012

Mari Giatkan Silaturahim!!

Di suatu sore yang mendung (sokpuitis.com), saya diingatkan sama Bunda (panggilan untuk Ibu Mertua) tentang silaturahim. Walaupun sebenernya teguran/pengingatan itu bukan untuk saya, tapi saya cukup merasa tersentil.


Intermezzo dikit, Bunda tuh “keras” banget kalau menyangkut silaturahim, apalagi sama yang masih ada hubungan saudara. "Keras"nya sedikit di atas Papah yang akhir-akhir ini sering banget menekankan kepada saya untuk rajin muter-muter ke rumah saudara. Tapi kerasnya mereka ini justru saya syukuri, karena kalau nggak mungkin kami yang muda-muda ini bisa asyik sendiri tanpa kenal lagi sama saudara *apalagi keluarga suami yang kalau arisan keluarga bisa puluhan orang*.



Kalau diingat-ingat nih, selama masa SD-SMP-SMA-Kuliah saya punya satu atau beberapa teman dekat yang saking dekatnya bolehlah disebut sahabat. Tapi seiring waktu berjalan, komunikasi berkurang, frekuensi ketemu menipis, persahabatan tersebut semakin dan rapuh. Yang tersisa hanya balas-balasan komen di FB, chat yang hambar di YM, atau SMS sesekali. Dan ini terjadi sama hampir semua sahabat saya.



Duh, miris banget nggak sih… Tadinya saya pikir deket sama temen SMA sampai seusia ini emang susah, tapi ternyata banyak orang melakukannya kok. Dan nggak ada kata terlambat untuk memulai (kembali).



Yak, saya sudah mulai dengan menjenguk si ganteng Attar Atqiya Rahman yang tanggal lahirnya sama Tante Bungafiktif :)


Dan mari disusul dengan dateng ke nikahan Mbem (undangannya aduhai banget deh…) tanggal 22 April besok.


Insya Allah menyusul juga menjenguk Meri yang ternyata udah punya anaaak!!


Dan disusul dengan silaturahim-silaturahim selanjutnya, yang saya yakin jauh lebih baik dan bermanfaat dibanding jalan ke mall. Hehe.

Wednesday, April 4, 2012

Si 15 Bulan yang Menantang

Selama kurang lebih 2 tahun saya menjadi ibu (masa kehamilan dihitung juga dong ya…), ada 3 masa kritis bagi saya dalam menjalani peran saya sebagai orang tua
  1. Saat Ihya berusia 1 bulan dan mulai belajar menyusu. Untuk pertama kali saya merasakan nggak tidur yang sebenarnya saat mengurus bayi kecil. Saya sakit, suami sakit, Mamah sakit. Merasa kelelahan luar biasa. Puncaknya, suatu malam saya membiarkan Ihya menangis dan nggak mau menyusui Ihya. Pakai adegan ninju tembok segala… Hehe. Cerita lengkapnya boleh dilihat di sini kalau penasaran... 
  2. Ihya yang super garendut dan amat doyan nenen ternyata tidak menjamin membuat masa MPASInya akan berjalan dengan mudah. Hampir bisa dikatakan bahwa Ihya nggak punya minat sama makanan sampai ia berusia 9 bulan (mustinya kan 6 bulan Baaang…!!) dan kemudian kembali mogok makan alias GTM. Pola makannya baru bisa dibilang baik setelah usia 12 bulan dan itupun tentunya dengan tantangan yang selalu menyertai. Ada masa-masa di mana saya sampai menangis karena Ihya nggak mau makan. Bayangkan… Ihya sampai sakit-sakitan, kulitnya pucat, tapi tetap setia tutup mulut.
  3. Ini nih yang bakal saya ceritain…
Setelah satu tahun, si kecil bisa dibilang bukan bayi lagi. Ia sadar bahwa ia diperhatikan. Mulai memiliki keterikatan emosi yang berbentuk dengan para significant others. Mulai bisa juga menampilkan emosinya.

Kalau pengalaman dengan Ihya nih, nangis ala bayi udah nggak jaman. Ihya bahkan bisa PURA-PURA nangis atau menangis sambil posisi sujud untuk menunjukkan “kepedihannya” atau sebagai bentuk protes saat keinginannya tidak terpenuhi. Di sisi lain, Ihya mulai menunjukkan keengganannya untuk berpisah dengan saya. Yang biasanya anteng berubah jadi cranky kalau saya ada di sisinya, bahkan menangis menjerit-jerit. Selain itu, yak, saya jadi saksi hidup bahwa negativitas pada batita itu benar-benar ada Jendral!! Ditawarin nenen sekalipun Ihya akan geleng-geleng sambil bilang “mau..!!” (maksudnya nggak mau). Ihya juga mulai nunjuk ini itu tapi kemudian menolak saat diberikan. Nggak konsisteeen…

Dan banyak perilaku-perilaku lainnya yang cukup mengejutkan untuk saya. Karena selama ini, buat saya Ihya anak yang begitu penyabar dan nggak cengeng. Amat sangat membantu saya dalam merawatnya. Buat saya, Ihya seperti anak manis yang nggak banyak minta. Tapi apa yang saya hadapi sekarang benar-benar berbeda.

Puncak rasa frustasi saya adalah hari Sabtu kemarin. Suami kerja (kamu rajin amat sih Bun…). Bilangnya pulang jam 13, eh…nggak tahunya dapet kerjaan tambahan yang bikin Syami baru pulang maghrib. Udah gitu, rumah habis kebanjiran pula, jadilah rumah kapal pesiar itu (saking gedenya…) terasa seperti Titanic menjelang tenggelam. Pada saat itulah Ihya menunjukkan aksinya… Wuah… saya bener-bener dibuat kewalahan… Ihya nangis tanpa henti, maunya digendong (tanpa gendongan), dan gairahnya untuk memegang benda-benda yang seharusnya tidak dipegang amat tinggi. Ditambah lagi, rasa capek yang serasa dirapel karena hari Kamis tugas keluar kota dan di sepanjang minggu itu Ihya belum punya pengasuh baru.

Saya nangis loh, saking bingung dan nggak tahu mau ngapain… Saya juga sempat membentak Ihya supaya dia diam. Jangan ditiru ya… Saya nyesel banget dan cara tersebut terbukti TIDAK BERHASIL (sama seperti memaksa anak GTM makan).

Huhu… Saya sedih banget. Saya bener-bener takut nggak bisa mendidik Ihya dengan baik. Rasa percaya diri saya juga sempat luntur saat Bunda bilang kalau di rumah (saat saya tinggal) Abang baik-baik saja dan anteng. Kemudian, hari Senin saya teringat sama seorang teman yang pernah menulis tentang tantrum pada anaknya (bukan anak orang lain ya… hehe). Saya ngobrol dengan dia dan kemudian merasa jauuuh lebih tenang karena ternyata masa-masa itu hampir dialami setiap batita. Ditambah lagi di hari berikutnya teman saya yang lain menyampaikan pengalaman yang kurang lebih serupa tentang anaknya.

Bismillah, saya coba pasang stok sabar yang banyak. Sambil menghembuskan mantra buat diri sendiri: ini wajar… ini normal… saya bisa… Ihya anak baik… berulang-ulang. Dan yeaaah!! Lagi-lagi berpikir positif melaksanakan tugasnya dengan baik. Di malam Selasa saya mengajaknya main dengan pasang stok sabar sebanyak mungkin, begitu pula saat meninabobokannya… Di malam Rabu bahkan kami bermain dengan sangat asyik dan menyenangkan. Saya juga dapat “kado” Ihya sudah bisa bilang “uaaa” saat saya bernyanyi lagu Burung Kaka Tua. Menjelang tidur Ihya sempat nangis karena saya larang untuk menggigit dan memuntir puting payudara. Tapi, saya coba konsisten untuk memberi tahu Abang bahwa hal tersebut tidak boleh.

Saya cuma bisa bersyukur… Saya tahu Abang punya bibit sanguinis yang cukup terlihat. Ia pemberani, senang dipuji, dan sangat ekspresif baik segi verbal maupun non verbal. Seharusnya saya sadar dan sabar dari dulu ya… *tapi nggak akan ada tulisan ini dong…*. Hehe. Kalau diinget-inget, perkembangan emosinya sebenernya sebuah kesenangan tersendiri untuk saya karena kami bisa “mengobrol” lebih interaktif.

Selain itu, saya juga jalan-jalan ke situs ini untuk belajar lebih lanjut. Dan tertera sebuah pernyataan yang amat menenangkan:

if you can’t change it now, make it fun now

Dua hari ini saya lagi kepikiran satu hal yang nggak bisa ilang-ilang dari kepala. Alhamdulillahnya pas banget setelah masa-masa perkembangan Ihya menuju tahap yang lebih tinggi beres dan saya pahami sepenuhnya. Jadi nggak dobel pikiran.

Alkisah, sekonyong-konyong saya ikut tim Soc Med di kantor. Kerjaannya? Ngapdet status. Hahaha. Terdengar sederhana dan asik ya? Tapi pada kenyataannya saya belum ngerasa nyaman dengan kerjaan baru ini. Masih ngerasa: hadeh…nambahin kerjaan aja sih, pagi-pagi dan malem-malem musti buka Soc Med gitu?? *selama ini sih kelewat melulu sesi pagi dan malemnya. Hehe. Lha wong ngisi status FB sendiri aja males.

Saya kebagian di hari Selasa, tema yang sudah ditentukan adalah karier dan pendidikan. Karena minggu lalu sudah ambil tema pendidikan, maka minggu ini ambil tema karier. Gile, songong amat sih si karier nggak jelas kaya gue ngomongin karier. Hehe. Ya udahlah, anggep aja menyenangkan orang lain dengan tweets yang menginspirasi. Ya kaaan?

Saya inget sebuah website konsultan SDM yang punya fokus di tema pengembangan karier: Daily Meaning. Kebetulan ini adalah tempat di mana temen saya kerja juga, jadi lumayan jadi top of mind saat mau cari sumber bahasan soal karier. Jujur, saya suka banget sama website ini. Pertama, nggak website konsultan banget!! Yang bisa diartikan sebagai: klik ini, bayar; klik itu, bayar. Kedua, ada blog yang isinya artikel-artikel yang menginspirasi. Ketiga, mereka juga punya gerakan #blissipline. Tapi bagian nggak enaknya adalah, saya jadi mikir semikir-mikirnya tentang karier saya, tujuan hidup saya, target, dan prioritas saya. Untuk saat ini, saya memutuskan untuk jadi ibu bekerja. Titik. Dan akhir-akhir ini, langkah saya sebagai ibu bekerja jadi jauh lebih ringan setelah Abang dititip di mertua. Oke, terus? Untuk saat ini, boleh dibilang saya merasa amat bersyukur dengan status saya sebagai karyawan di suatu perusahaan. Tempat kerja deket, duit nambah, dan masalah ongkos dan uang makan nggak jadi parasit yang menggerogoti tabungan walaupun gaji saya nggak gede.

Sebelum dipindah ke posisi yang baru, saya mendapatkan job desc yang sebenernya amat menantang dan amat saya suka. Tapi, saya mengalami kebuntuan komunikasi dengan atasan. Entah kenapa, pekerjaan saya yang mustinya menantang itu terasa begitu hambar karena saya banyak diposisikan sebagai admin. Keadaan berubah, Alhamdulillah. Saya dimutasi. Dapet bos yang asik (Syami sampai menyampaikan terimakasih ke bos saya yang baru ini karena telah membuat hidup saya lebih bahagia – sebagai informasi, sebelumnya saya tertekan banget, sering psikosomatis, seperti diare akut 4 kali dalam sebulan, dan sering menangis serta mengeluh soal kerjaan sama Syami). Sekarang, saya hampir nggak pernah melihat iklan lowongan kerja kecuali tempat kerja impian saya atau demi mengurangi inbox. Panggilan wawancara pun nggak saya acuhkan.

Tapi, tindakan penyelamatan saya untuk keluar dari departemen yang lama nggak dibarengi dengan job desc yang jelas. Walhasil, musti pinter-pinter cari kerjaan dan masih agak kerja serabutan.

Tadinya, saya pikir, punya gaji, punya bos yang asik, dan tempat kerja yang deket rumah sudah cukup. Tapi, dalam keadaan serabutan selama hampir 2 (sebenernya 5 lho…) bulan terakhir membuat saya sadar juga, bahwa ternyata ada hal lain yang saya inginkan. Ternyata saya punya need of achievement yang tinggi. Yang saya idam-idamkan. Yang membuat saya terganggu saat saya biasa-biasa aja. Di damping itu, saya meninggalkan Ihya selama minimal 9 jam sehari. Layakkah untuk jadi biasa? (baca artikel ini juga…).

Namun, lagi-lagi nih, sepertinya saya belum punya target dan prioritas yang jelas yah? Tapi saya bertekad, kali ini NO G@L@U. Just sit, write, do. Alhamdulillah, udah mulai sering nulis, siapa tahu bisa jadi penulis BENERAN. Hehe.
Oia, ini adalah tagline-nya #blissipline yang bikin saya semangat: if you can’t change it now, make it fun now. Nice:)