Wednesday, May 30, 2012

His Toy


Selasa kemarin, akhirnya suami saya menggenggam barang yang diidam-idamkannya. Kamera DSLR. Sejak mulai kuliah, saya tahu kalau suami saya tersayang memiliki minat di fotografi dan desain. Syami mungkin menjadi 3 besar top of mind di pikiran anak-anak BEM kalau mau minta bantuan soal foto dan desain. Ini bukan soal kemampuan (saja), tetapi memang karena ia hampir selalu mau membantu.

Sebenarnya, suami saya mungkin bisa membeli kamera idamannya sejak dulu kala. Namun, ia terlalu banyak memikirkan kami, orang-orang di sekitarnya, keluarganya. Jangankan kamera, mau beli sendal baru yang agak mahal saja dia bilang “nggak”. Bilang “nggak”nya pun nggak pake mikir. Setelah dinasehati, diyakinkan, baru setuju. Begitu pula dengan kamera. Bukan uang yang sedikit, tentu saja… Tapi saya dengan senang hati sering meledeknya untuk membuatnya tergerak untuk membeli kamera.

Saya tahu, tidak seperti barang-barang lainnya, di dalam hati dia pasti ngiler berat. Saya tahu, setiap pegang laptop dan browsing, yang dicari pasti kamera lagi…kamera lagi… Dia pun dengan tidak enak hati meminta persetujuan saya, seperti anak kecil yang sedang minta uang jajan untuk beli permen. Padahal mah saya ekhlaaas…

Bukan karena saya demen fotografi atau pingin pamer kamera, tapi saya cuma ingin melihat suami saya (akhirnya) menggenggam barang yang ia idam-idamkan.

Ini dia, Pentax K100 D:


Tuesday, May 29, 2012

Katanya Cinta


Secara kebetulan, akhir-akhir ini tiba-tiba saya dicurhatin beberapa orang mengenai perkara percintaan. Lucunya, hubungan saya sama mereka sebenarnya so-so, alias biasa-biasa aja. Kenal… tapi nggak deket banget lah. I usually told a story about my love life with someone that I called bestfriend. Di samping itu, walaupun saya pernah mengalami masa-masa muda nan galau terkait dengan masalah hati, tapi sepertinya masalah saya jauuuh lebih monyet*) dari teman-teman saya ini.
* Monyet mengacu pada arti monyet dalam frase cinta monyet.
Saya menganggap rasa suka/senang yang tidak berujung pada penyatuan sebagai hal biasa (kecuali dengan yang terakhir). Selain itu, prinsip juga mengatakan: seriusnya ntar aja lah, kalo emang udah mau nikah. Jadi, jadi syukur… Nggak ya udah.

Teman 1 cerita tentang mantan pacar karena stimulus berupa pendapat yang saya kasih tentang pakaiannya yang secara kebetulan senada dengan pandangan mantan pacarnya.
Teman 2 cerita tentang “balas dendam”nya kepada mantan pacar yang meninggalkan dia nikah dengan orang lain melalui lulus kuliah dan kerja. Dan kemudian mantan pacarnya ini justru mengejarnya kembali.
Teman 3 cerita tentang cinta abu-abunya dengan mantan pacar yang sudah menikah (yang menjadikan pernikahannya sebagai pelarian).
Teman 4 tersirat dari status-statusnya di FB bahwa ia akan dipoligami (inget ya… tersirat, jadi dia nggak cerita sama saya).

Dari beberapa cerita itu, saya hanya punya kesimpulan singkat…
Semua orang boleh mengalami masalah percintaan, tetapi yang membedakan adalah status pernikahannya. Kok? Untuk orang yang sudah menikah masalah timbul karena ia telah membuat komitmen seumur hidup dengan pasangannya. Bahkan seumur mati, karena perihal pernikahan ini akan dibawa-bawa sampai di akhirat. Sedangkan bagi yang belum menikah, masalah justru timbul saat ia memiliki kebebasan untuk memilih.

Kesimpulan lain, cinta tidak lebih penting dari komitmen kebaikan.

Cinta memang bukan soal logika. Tetapi manusia dikaruniai kebebasan. Hanya saja kebebasan tersebut hanya untuk memilih yang baik. Begitu juga soal cinta dong… Permasalahannya, cinta seringkali tersamar oleh nafsu. Cinta dipersempit artinya jadi memiliki. Saya jadi ingat cuplikan di bukunya Salim A Fillah, bahwa pernikahan bukan soal cinta, tetapi soal komitmen. Komitmen untuk memilih yang baik, termasuk mencintai pasangan dengan semangat perbaikan.

Kebetulan, saya yang sudah menikah ini juga mengalami, bahwa tantangan setelah menikah justru makin besar. Kalau bukan karena komitmen untuk perbaikan, kalau saja yang saya anut adalah cinta ala film Amerika, pernikahan pasti akan bubar. Yang amat mungkin bukan karena sulit mempertahankannya, tetapi karena memang tidak ada komitmen untuk tetap bersatu.

Duh, pagi-pagi ngomongin cinta… Sebenernya sih, panjang-panjang begini saya cuma mau bilang sama Hisyami Adib: Aku cinta padamu (diucapkan ala Iko Uwais).

Monday, May 28, 2012

Imunisasi Yuk! Cerita Imunisasi #1


Tulisan ini mungkin tidak akan sekali jadi, tapi InsyaAllah saya berusaha menyelesaikannya secepat mungkin. Ini tentang IMUNISASI. Untuk yang pertama ini, lebih ke arah cerita pengalaman sendiri aja sih... Tetapi, saya merasa tergerak untuk menulis tentang vaksinasi dan imunisasi. Kenapa? Pertama, karena saya punya anak. Saya harus memutuskan, apakah Ihya akan diimunisasi atau tidak. Seandainya di Al-Quran atau Sunnah menyebut dengan jelas tentang boleh tidaknya vaksinasi, hidup saya mungkin akan jauh lebih tenang, dan hilanglah satu beban pikiran. Sayangnya, nggak. Ihya juga belum bisa milih sendiri, dan saya dan Syami lah sebagai orangtua yang harus memilihkan.
Kedua, gerakan anti imunisasi banyak. Saya yakin yang saya pilih adalah yang terbaik. Namun, saya nggak bisa memaksa orang lain, yang saya bisa adalah mengajak dan berbagi cerita. Berbagi informasi. Permasalahannya, pilihan imunisasi atau nggak tidak hanya menyangkut anak kita semata. Tapi anak orang lain di sekitar kita.

Saat masih mengandung Ihya, saya sudah mulai memikirkan, apakah Ihya nantinya akan saya imunisasi? Beberapa teman saat itu memlih untuk tidak mengimunisasi anaknya. Jujur, saya bingung. Kebingungan itu bertahan sampai Ihya lahir. Dari dokter di Markas Sehat, saya tahu kalau WHO merekomendasikan bayi segera diimunisasi Hep B dan Polio saat lahir. Nyatanya, di RS tempat saya bersalin, Ihya tidak diimunisasi (dr. Windy sampai membantu melihat resep dan obat satu-satu untuk memastikan anak saya belum diimunisasi). Saya datang ke Markas Sehat setelah meyakinkan diri untuk Imunisasi (yak, saya pro Imunisasi). Dan buku Q&A: Smart Parents Healthy Children karangan dr. Purnamawati inilah yang membantu saya untuk memutuskan.

Dari pemikiran-pemikiran dr. Wati yang tertuang di buku tersebut, saya tahu bahwa beliau sedang mempromosikan dan mengkampanyekan RUM. Lho? Apakah selama ini kita tidak RUM. Saya harus bilang: YA. Apa yang dijelaskan di buku tersebut sangat berbeda dengan apa yang saya alami selama ini. Mencret, obat. Batuk, antibiotik. Gatel, Inci**l. Selain itu dr. Wati juga pro-ASI Eksklusif 6 bulan. No Sufor, dan UHT sajalah di atas 1 tahun. Perasaan keibuan saya cuma bilang: dia ahlinya, dan dia mengkampanyekan hal-hal baik. Mungkinkah imunisasi sebagai salah satu hal yang dikampanyekannya salah dan jahat. Nggak ilmiah? Nggak papa, itu adalah salah satu dorongan purba saya untuk melindungi Ihya. Saya harus ambil keputusan, sekarang. Maka saya memilih imunisasi.

Tapi saya juga tahu, nggak semua orang pro Imunisasi. Alasannya seram (ya…saya juga sempat kebingungan soal ini toh…) dan suaranya gencar. Saya coba buka mata, buka telinga tentang apa dan kenapa dalam pro-kontra ini. Bahkan saya dan suami sempat menunda jadwal MMR-nya Ihya. Namun, sampai detik ini keputusan terakhir saya masih tetap pro imunisasi. Selanjutnya Insya Allah mau coba merangkum pendapat-pendapat kontra dan penjelasan lebih dalamnya.

Ayo Imunisasi!!

Wednesday, May 16, 2012

Balada Muntaber


Walaupun sebenarnya agak memalukan juga menulis tentang kisah muntaber beberapa hari kemarin, tapi kayaknya harus deh… Karena ini bukan hanya balada muntaber, tapi juga balada RUM (Rational Use of Medicine), balada jangan jajan sembarangan, dan balada NO PAIN NO GAIN, hehe…
Baruuu… saja seminggu diare berlalu (bahkan kurang dari seminggu), saya sukses kena diare lagi. Berbagai kambing hitam muncul di kepala, mulai dari… 

Nekat coba-coba kopi padahal pencernaan belum genah.
-    Hasil dari betapa doyannya saya dengan mie ayam (walaupun sudah kurang lebih dua minggu saya bertobat dan berusaha makan masakan rumah. Tapi apa daya, ART menghilang bikin rutinitas keteteran). 
      Galon air minum yang diletakkan dekat dengan tempat sampah.
-    Rumah sering kebanjiran sehingga mungkin ada kuman yang nempel di sana sini.
-    Nggak cuci tangan PAKAI SABUN setelah membersihkan pup Ihya.
-    Dan yang terakhir, karena penggunaan berbagai macam obat yang menahan diare.

Sebelumnya, seumur hidup saya belum pernah mengalami gangguan pencernaan separah ini *walaupun kata Buku Pintar zodiac Pisces rentan dengan gangguan pencernaan. Hehe, ngingetnya aja bikin ngakak*. Saya sudah beberapa kali mengalami diare. Sering nggak… Tapi dibilang jarang juga nggak… Diare terakhir mungkin sebenarnya kolaborasi dari berbagai kambing hitam di atas.

Pertama, walaupun saya nggak ada niatan untuk berhenti makan mie ayam dan minum kopi, tapi sepertinya memang saya harus belajar menahan diri dari 2 makanan (dan minuman) ini. Secara teori mungkin nggak masalah, tapi kalo mie ayamnya kena debu jalanan, keringet Abang Mie Ayam, atau bahkan upilnya, jelas bisa bikin diare dooong… Begitu juga dengan kopi. Kopi cukup aman dikonsumsi 1 gelas per hari. Apalagi saya bukan peminum espresso, cuma kopi instan plus krim. Paling banter bikin gemuk. Tapiii… minum kopi dalam keadaan perut kosong atau kelepasan minum beberapa gelas kopi sehari, jelas mungkin menimbulkan masalah pencernaan.

Soal  galon yang diletakkan dekat tempat sampah, sebenarnya saya sudah sadar beberapa waktu lalu. Jadi, sudah sekitar sebulanan dispenser saya rusak. Walhasil kami minum langsung dari galon air dengan bantuan alat pompa sederhana. Fatalnya, saya kelupaan untuk memindahkan markas si galon. Setelah sadar, galon sempat saya pindahkan, tapi ternyata justru dikembalikan ke tempat semula oleh ART yang berpikir bahwa saya sedang “salah tempat” *tepok jidat*.

Soal banjir, tiap banjir melanda kami pasti akan membersihkan rumah yang guede itu… Tapi yah…namanya juga kuman, mungkin aja ada yang nyisa… Saat imunitas sedang turun, tubuh keok… Soal banjir, skip aja lah ya…

Soal nggak cuci tangan pakai sabun, aduh… ini mah dasar banget yah… Khilaaaf…

Dan yang terakhir, mengenai diare kambuhan. Terlepas dari penyebab-penyebab yang lain, saya yakin alasan yang satu ini berperan dalam diare saya yang terakhir. Saat diare di minggu lalu, saya merasakan betapa lemas dan menyiksanya diare. Dan “kesakitan” menggoda saya untuk minum macam-macam obat. Dari mulai kerokan sampai dengan jamu. Padahal saya tahu setahu-tahunya dan sadar sesadar-sadarnya bahwa diare sebenarnya BUKAN penyakit, melainkan gejala.
Tata laksana diare yang saya pahami dari Q&A Smart Parent Healthy Children dan Baby Book adalah “membiarkan” diare (kurang dari 2 minggu) berlangsung sampai dengan berhenti dengan sendirinya. Satu-satunya obat yang dibutuhkan adalah ORALIT untuk mengganti cairan tubuh dan elektrolit yang hilang agar terhindar dari dehidrasi (man…orang lebih cepat mati tanpa minum daripada tanpa air).

Lalu, apakah obat-obat diare yang beredar di pasaran, seperti Imo***m, Di*pet, Di*tabs, dll tidak layak? Saat obat sudah beredar di pasaran, obat tersebut dinyatakan aman sesuai dosisnya. Pun biasanya sudah disampaikan efek samping dan kontra indikasinya. Pun, obat-obat tersebut kan rata-rata mengobati gejala, bukan penyebabnya. Pesan saya sih… Sebagai pesakitan, kita harus bijak memilih obat plus mencari informasi yang akurat mengenai obat tersebut. Selain bijak, kita juga dituntut untuk SABAR. Sabar menunggu tubuh menyembuhkan dirinya…

Terakhir, sakit gini doang saya udah mengerang erang, sungguh kadang manusia suka nggak sadar diri sama nikmat sehat yang Allah kasih… Kemudian, sepanjang saya ingat, saya nggak pernah sebahagia itu ke kamar mandi dan buang air besar dengan kekentalan yang normal seperti hari Selasa kemarin.

*) Judulnya jadi Balada MUNTABER, karena dibarengi sama muntah. Ieuwhh… Jijik sejijik jijiknya. Saya takut muntah, dan selama bisa ditahan akan saya tahan. Namun kemarin, nggak bisa… Tapi, Alhamdulillah yah… jadinya perut malah lebih enak… Hehe.

**) Hisyami Adib, kamu manusia atau… malaikat sih? Baik banget sudah menemani aku di masa sakit kemarin. Jadi jatuh cinta *uhuuuy… lho? selama ini?? Hehe*

Thursday, May 10, 2012

Ibu, Marah pada Siapa?


Hhh… Tarik napas dulu… Serius, saya kehilangan kata-kata…
Semalam Syami bilang kalau dia habis lihat video pemukulan balita oleh ibunya sendiri. Cukup dengar informasi itu saja sudah bikin saya nyeri. Tiba-tiba pagi ini ada yang memberikan link video tersebut di group FB. Aduh, bahkan nyerinya masih terasa sampai sekarang setelah beberapa jam saya melihatnya. Antara penasaran dan nggak tega, tetapi pada akhirnya saya nggak kuat melihatnya…
Saya ingat wajah balita yang menangis itu, memohon agar Ibunya berhenti memukulnya.
Saya mengingat badan sang ibu yang naik turun menahan nafas amarahnya. Ibu, amarah itu untuk siapa? Untuk anakmu? Atau untuk dirimu yang frustasi?

Saya juga kadang kesal sama Ihya. Tapi, harus diralat, bahwa sebenarnya saya kesal dan frustasi pada diri saya sendiri karena tidak memahami apa maksud Ihya. Ihya juga mungkin frustasi karena ia tak dapat menyampaikan maksud dan keinginannya *kecuali kalau Ihya nenen sambil gigit, aww… no tolerance!! Hehe*.
Bahkan di usia orang dewasa yang ke duapuluh atau tigapuluh sekian tahun, kita para orang dewasa kadang memiliki kesulitan untuk mengungkapkan apa yang kita inginkan dan apa yang kita pikirkan. Bagaimana dengan balita yang bahkan belum fasih bahasa ibunya? Tidakkah sang Ibu sempat berpikir demikian?

Saya lebih sedih lagi karena beberapa orang di sekitar saya begitu mendambakan seorang anak. Seoraaang… saja. Mereka adalah orang-orang baik dengan perilaku lemah lembut. Kadang saya bertanya dalam hati, kenapa Allah tidak mengirimkan anak kepada mereka saja?? Tentu saya hanya menemukan hak prerogatif Allah untuk menentukan. Bahkan mungkin saya tak patut mempertanyakan.

Ibu, Ayah… *oh, my tears are coming now…*, tak peduli selelah apapun kita bekerja dan mengurus rumahtangga, tak peduli seberapa anehpun tingkah anak kita, tak peduli seberapa besarpun peran kita dalam membesarkan anak kita, mereka tak berhak sedikitpun atas amarah. Yang ada hanya kasih sayang dan pendidikan…
Sungguh saya bukan orangtua yang sempurna. Saya pernah “nyuekin” Ihya waktu saya frustasi saat Ihya belum bisa menyusu dengan baik. Atau bernada tinggi ketika saya lelah dan Ihya justru banyak tingkah.
Nyatanya, kebanyakan amarah kita BUKAN pada anak, melainkan pada diri kita sendiri atau lingkungan sekitar.

Mari beristighfar banyak-banyak yuk… Mari berdoa banyak-banyak agar menjadi orangtua shalih… Dari sekian banyak kesempatan amal ibadah selama kita hidup, hanya 3 amal yang tak putus walaupun kematian datang menjemput. Dan salah satunya adalah doa anak yang shalih… Ingat rasa syukur kita saat tanda + (plus) muncul di testpack. Ingat tawa kita saat tendangannya di dalam perut kuat menghentak. Ingat bahagia kita saat anak kita bisa berkata: Mamah.

Terakhir, ternyata Ibunda yang memukul anaknya tersebut sudah ditangkap dan dipenjara selama 18 bulan. Sebagian orang bilang terlalu sebentar dan kalau bisa anaknya jangan kembali pada pengasuhan si Ibu. Tapi, saya yakin, sang anak sudah amat rindu pada Ibunya bahkan jika sang Ibu pergi beberapa hari saja. Karena perasaan mereka tulus dan halus… Saya hanya bisa berdoa supaya sang Ibu berubah menjadi lebih baik, lebih sabar, dan lebih dekat pada Allah. Semoga masalah-masalah di kehidupannya cepat berlalu. Dan semoga segala luka yang tertoreh di diri sang anak hilang tak berbekas. Baik di tubuhnya, di ingatannya, maupun di hatinya… *Anak hebat, yang kuat ya sayang… Maafkan Ibumu*.

Monday, May 7, 2012

Nice Place to Work



Jadi ya… Di suatu hari yang cerah saya datang ke sebuah perusahaan untuk ikut seleksi (jangan ditanya keterima atau nggak, karena belum ada kabar, hehe). Sebelum hari-H, biasa lah… saya liat-liat situsnya. Coba cari annual reportnya juga kalau memang perusahaan tersebut sudah Tbk… (karena, setelah beberapa kali membaca Annual Report suatu perusahaan, saya menemui bahwa Annual Report mengandung informasi-informasi yang menarik. Kadang bahkan saya terhibur membacanya, hehe).

Besoknya, meluncurlah saya pagi-pagi ke perusahaan tersebut (sebut saja PT X). Walaupun nyasar ke sana ke mari, tapi akhirnya sampai juga sih… Pemandangan yang pertama saya lihat adalah karyawan-karyawan yang sedang menuju mesin absensi. Rata-rata mereka memakai pakaian yang kasual. Nggak formal sama sekali. Walaupun nggak parah gimana juga sih… *misalnya pakai hot pants dan tank top*. Okay, dari situ saya bisa menangkap budaya dan nilai yang ingin dibangun oleh PT X.

Saat dibawa menuju ruang psikotes, saya makin terkesima lho… Soalnya interior ruangan ditata dengan sangat apik. Pesan hidup sehat ada di mana-mana (PT X memang produsen makanan/minuman kesehatan). Bahkan belakangan saya baru tahu PT X TIDAK menyediakan makanan kecil yang DIGORENG dalam rapat-rapat mereka. Sekilas saya juga melihat ruang kerja PT X. Wuiii… cakep. Cakep dalam arti: bikin seneng mata yang melihat. Bla bla bla, psikotes dimulai dan tentu saja administrator tesnya berpakaian sama santainya. Hehe. Setelah psikotes, saya menunggu waktu wawancara, dan sekali lagi saya dan beberapa orang lain harus melewati ruangan kerja PT X. Kesan saya: kaya di mall. Hehe. Selain berpakaian santai, ruangan terbilang penuh di jam istirahat. Banyak kelompok-kelompok kecil sedang menyantap bekal yang mereka bawa. Nggak cuma itu, ternyata ada semacam “gameshow” selama jam istirahat.

Jujur saja, saya nggak biasa sama suasana kantor yang seperti itu. Tapi, coba deh kita bayangkan, kalau setiap hari kita pergi kerja ke tempat yang kaku, dingin, dengan warna yang monoton, dibandingkan dengan tempat yang memiliki banyak pola, ramai, dan berwarna-warni. Kreatif, saya pikir itu adalah pesan utama PT X saat mengkonsep ruang kerja bagi karyawannya. Oia, satu lagi, setelah saya perhatikan, rata-rata karyawannya masih muda. Balik lagi ke KREATIF. Emang gampang jadi kreatif? Nggak. Tanya deh sama yang suka ngasih training Creative Thinking, hehe.

Saat ini dunia sepertinya amat cepat bergerak. Saking cepatnya, jarang orang yang bisa mengikuti ilmu pengetahuan yang berkembang dengan lengkap. Setiap orang diminta untuk mencari sendiri. Mencari sesuatu yang beda. Ya… di sanalah kreativitas berperan. Dan bagaimana mungkinkah seseorang diminta kreatif kalau nggak pernah dilatih. Bagaimanakah kreativitas dilatih jika ia bahkan tak pernah dirangsang untuk muncul. Okay, sebelum jauh merangsang kreativitas, paling nggak mood harus oke dulu kan? Kalau ada bos yang bilang: “It’s your problem, ADAPT!!”, halah… udah ketinggalan Pak…

Ruangan warna-warni dengan desain interior yang manis tadi, saya yakin, jadi pemicu munculnya kreativitas. Selain menarik orang-orang muda berdarah segar untuk masuk ke sana. Umm, mungkin agak melenceng sedikit, dengan budaya, nilai, dan core competency yang jelas, proses rekrutmen dan seleksi bisa jadi sangat berbeda lho… Berdasarkan info dari suhu Pungki yang jadi pemateri training saya minggu lalu, sepertinya saya juga menangkap hal yang kurang lebih sama: core competency jadi saringan utama, bukan sebatas technical competency sajah.

Tapi, memang investasinya berat. Perlu ada kepercayaan yang tinggi atas jalan yang sudah diambil, jadi nggak setengah-setengah. Contohnya… Googleplex. Aaah…. Ngiri!! Ini bisa nyambung juga ke Employee Satisfaction. Cih, manjang ke mana-mana…

 



Terus intinya apa dong? Hehe…
Intinya sih… saya mengapresiasi positif PT X yang menggaungkan nilai dan budayanya dengan jelas tanpa harus dicetak dan dipajang d semua ruangan. Karena 3 dimensi berbicara dengan sangat lantang :)

Sunday, May 6, 2012

Kangen


Ihya Haqqi Muhammad,

Mengapa lepas mencintaimu begitu sulit?

Mengapa banyak hal menggantung di akhir kata?

Tidak bisakah kita pasrahkan saja semuanya?

Tidak bisakah pagi ini kita bermain di kasur, lompat-lompatan,

Lalu makan siomay buatan Ibu…

Kemudian kita jatuh tertidur sambil berpelukan…

Tak bisakah?


*edisi kangen Abang…*

Wednesday, May 2, 2012

Setelah Menamatkan Partikel,


Semalam saya beru menamatkan Partikel-nya Dee. Sebagai orang yang ngikutin itu buku dari jaman Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh, saya merasa antusias. Selain itu, saya nggak bakat jadi kritikus buku. Menurut saya, menulis buku aja udah sangat hebat, nggak perlu pake dikritik segala… Saat nggak suka sama suatu buku pun saya  berusaha menghabiskan buku dari awal sampai akhir sebagai bentuk penghargaan saya pada sang penulis.

Partikel cukup mampu membuat saya membaca buku terus-terusan. Walaupun harus berhenti saat saya di kantor atau saat mengurus Ihya. Walhasil suami lah yang (sepertinya) BT, karena waktu saya buat baca buku ya mayoritas saat saya sama dia. Hehe.
Balik lagi, saya nggak bakat jadi kritikus. Tapi ada saatnya ada bagian-bagian yang kurang “enak” dalam sebuah buku. Misalnya, buku Kang Abik menurut saya jalan ceritanya mudah ditebak dan tokohnya terlalu lurus dan sempurna. Atau bukunya Mbak Asma Nadia yang jalan ceritanya terlalu singkat, jadi nggak banyak konflik yang tereksplorasi. Termasuk Partikel yang sangat berbau new ages, meditasi, dsj. Setiap buku pasti punya ide yang ingin ia sampaikan dari karyanya. Namun, saya lebih cenderung mengelompokkan lagi menjadi 2: sekedar mengeksplorasi ide, atau punya misi dan menyampaikan pesan. Saya pikir Partikel (Dee) adalah yang kedua. Terlepas saya setuju atau nggak sama pesannya, saya suka J. Dan, semakin spiritual yah… Hehe.

Baca Partikel juga bikin saya makin sadar, sebenarnya sebagai seorang muslim, saya amat beruntung. Nggak perlu menyediakan perantara macem-macem untuk merasakan Dia, Sang Pencipta. Tapi, ya…itu juga nggak kalah susah. Pernah nggak sih, udah sholat malam di suasana sunyi, tapi tak tergerak hati untuk menangis dan merasa kecil di hadapanNya…. Selain itu, menjadi seorang muslim di negara mayoritas Islam macam Indonesia kadang membuat kita kurang militan, tak mencari sebenar-benarnya mencari. Tak merasakan perjuangan berarti untuk sampai kepada kesimpulan Laa Illaha Ilallah… Dooh, kok jadi melow yak… Nggak papa lah, ini melow yang positif.

Teruuus, menceng dikit, saat ini Bunda mertua saya sedang melaksanakan ibadah umroh… Mohon doanya supaya beliau sehat, aman, nyaman, tentrem, dan selamet sampai kembali sampai Jakarta. Dan mohon didoakan juga supaya bisa segera menyusul berangkat ke Baitullah… *TOSS dulu Bun!!*

Okey, penutup nih, Rasul bilang, Islam lahir alam keadaan asing. Itu bener. Dan akan kembali dalam keadaan asing. Yang ini kadang kita juga ngerasain kan yah? Mau tegas dengan makanan/minuman berfermentasi dibilang ekstrim. Jilbab panjang dibilang nggak gaul, dsb dsb. Selain itu, Rasulullah juga bilang, satu waktu, jumlah umat Islam banyak. Amat banyak. Tapi ia bagai buih di lautan yang banyak namun tak berarti. Doooh, takut jadinya… semoga kita tidak termasuk dalam mereka yang “tidak berarti”.

Peniru Ulung



dr. Sears & Martha adalah salah dua orang yang ingin sekali saya temui, saya peluk, dan kemudian saya akan bilang: terimakasih banyak!!


Tinggal di Jakarta, dekat dengan Ortu dan Mertua ternyata belum cukup dijadikan bekal untuk mengurus anak. Banyak ilmu yang saya dapat dari mereka. Dari yang ilmiah sampai yang setengah ilmiah atau bahkan nggak ilmiah sama sekali. Kebanyakan sih saya ikuti, kecuali kalau ada yang benar-benar nggak masuk akal. Hehe. Dan itupun kayaknya nggak ada deh…

Terimakasih tak terhingga untuk Mamah yang menemani saya di awal-awal masa menjadi seorang Ibu. Apalagi Mamah orang yang amat sangat resik, jadi standarnya dalam perawatan bayi cukup tinggi. Nah, begitu pindah setelah masa cuti habis, doweng… “ini anak diapain ya??”. Hehe… Nggak separah itu sih… Tapi, menjadi ibu untuk pertama kali memang bikin kita jadi doyan belajar kan? Maka setelah buku Baby Book karangan dr. Sears dan istrinya Martha, saya mulai melahap buku itu.

Saya nggak bilang bahwa apa yang disampaikan di buku tersebut pasti benar. Nggak kok… Tapi sejauh ini nggak ada yang berbeda signifikan dengan informasi-informasi lain yang saya dapatkan. Dan kemudian, jadilah Baby Book sebagai “pengganti” Mamah… J

Sekarang, setelah Abang berusia 16 bulan, bahkan sebelumnya, saya yang masih “anak bawang” dalam mengurus anak ternyata sering juga ditanya oleh teman-teman yang lebih anak bawang lagi. Karena saya diberikan kesempatan lebih dulu menjadi ibu. Karena itulah, saya pingin membuat catatan-catatan kecil tentang Ihya. Hal-hal baik (dan kurang baik) yang kami lalui. Biar nggak lupa.

***
Catatan #1

Anak Anda Kalem, saat ANDA Kalem

Dooh… Yang namanya modelling bagi seorang batita itu sesuatu banget ya!! Kalau dipikir-pikir ya memang begitulah mereka (dan kita semua) belajar. Tapi saya ngak pernah nyangka anak akan tersambung dan mencontoh sebegitunya, bukan hanya perilaku, tetapi juga perasaan. Dan itulah yang saya temui semalam.

Seperti biasa ba’da maghrib saya dan Ihya pulang. Kali ini ditemani Abir. Berhubung jalanan lagi super macet, jarak tempuh yang lebih lama dari biasanya ternyata sukses membuat Ihya tidur. Amat nyenyak sampai ngegeletak gitu… Hehe. Eh, begitu diturunin dari motor, Ihya bangun. bukan cuma bangun, tapi seger buger.Yasud, kita mai dulu ya Nak…

Biasanya mandi akan membuat mood saya jauh lebih baik, tapi semalam saya nggak sempet mandi karena nggak ada yang nemenin Ihya. Badan pun lumayan capek. Saking capeknya, saya males buat mikir macem-macem, termasuk: “cepet tidur dong Bang…”.

Kami main, mulai dari baca buku, lalu kegiatan Ihya mengeksplorasi dompet, mengejar koin yang saya putar-putar, memindahkan barang belanjaan… Dari detik saat Ihya ternyata masih seger buger saya berusaha untuk atur pikiran untuk tenang. Dan malam itu, saya baru sadar bahwa Ihya amat kalem. Kadang ia minta perhatian, tapi itu biasa… Setelah puas main dan merasa ngantuk, Ihya kemudian merajuk, menarik badan saya ke kamar. Ia nggak guling-guling saat digantikan popok, dan bahkan hampir tertidur sendiri kalau nggak ngeh dengan saya yang masih ada di kamar.

Waw… malam yang indah. Terlepas dari ini kebetulan atau nggak, saya jadi makin semangat untuk jaga dan kontrol diri di depan anak. Mereka meniru kita, saat kita gusar maupun tenang.


Life Update



*ngulet dulu ah..*

Sebagai Ibu bekerja, ada 2 pihak yang keberadaannya  amat berharga buat saya: ART dan (keluarga) mertua. Haha, bahkan ngalahin suami yah… Tanpa ART, pagi hari saya bisa kacau, syukur-syukur nggak merembet BT sampai di kantor. Khusus untuk mertua, kebetulan memang kami tinggal cukup dekat. Walaupun ego agak terusik karena ke-sok mandiri-an saya yang gede, tapi demi Ihya, saya dan suami akhirnya sepakat menitipkan Ihya di rumah mertua. Namun, selanjutnya saya jelas lebih merasa damai-tentram meninggalkan Ihya di rumah mertua. Repot boyongan tiap pagi nggak masalah. Apalagi kalau melihat perkembangan Ihya yang meningkat dari hari ke hari (maklum, Bunda punya TK, dan keluarga mertua adalah keluarga besar. Jadi banyak yang mengajak Ihya main dan ngobrol) plus keriangan Papa-Bunda-Adek-adek Ipar setiap Ihya datang :)

Lebih repot, pasti…
Tadinya, saya biasa tidur lagi setelah suami pergi kerja. Sekarang langsung masak. Bukan apa-apa, ini ada hubungannya dengan pembukaan di atas. ART seringkali datang tak tepat waktu. Sebagai majikan yang membayar upah jauh di bawah UMP, sadar diri lah… Untuk menghindari ke-mumet-an, ya… harus siap-siap lebih awal. Bahkan rasanya ada kepuasan tersendiri saat bisa membawakan bekal makan siang untuk Bunny tercintah…

Tadinya, saya menggunakan jatah terlambat saya tiap bulannya dengan maksimal, *maklum, lagi demot*. Sekarang, boro-boro… Yang tadinya masih santai berangkat jam 08.20 dari rumah, sekarang jam 08.00 TENG musti udah stand by. Hasilnya, sekarang saya juarang banget telat. Seinget saya, terakhir saya telat karena jam di rumah mati.

Nah, saya nih aslinya pemales… Di bagian hati terdalam, saya bersyukur dengan keadaan ini, karena membuat saya semakin disiplin dan semakin dekat dengan Ihya. Serta banyak hal-hal yang seolah-olah kecil, padahal amat berharga. Contohnya, Senin kemarin. Sekonyong-konyong ART nggak masuk *hadeh…*. Abang bangun kepagian, Ibu bangun kesiangan, dan Ayah sudah berangkat kerja. Mau nggak mau harus urus sendiri tanpa ada yang jaga Ihya. Kasian sih… Ihya rewel karena melihat saya mondar-mandir tanpa fokus ke dia. Walhasil Ibunya juga ikut ngomel, hehe. Puncaknya, Ihya saya gendong depan dan kita naik motor berdua sajah!! Sepanjang jalan saya berbisik sama Ihya: yang kuat ya Nak…. *kesannya ngapain gitu ya…*

Saya juga sempat khawatir, apakah Ihya akan jadi nggak nyaman dengan jadwal kami. Ia harus “ikut jadwal” karena saya nggak boleh terlambat. Tapi suami menenangkan, semoga itu jadi bekal Ihya untuk lebih disiplin dan mandiri. Toh, saya nggak nyuruh Ihya nimba kaaaan….? Hehehe.

*tarik napas…* Di titik ini, saya makin PD dengan status Ibu Bekerja. Segala Puji bagi Allah dengan segala situasi yang Ia atur untuk kami…