Wednesday, September 25, 2013

DOCTORS



Bismillahirrahmanirrahiim…

Karena saya sedang Grey’s Anatomy Addict, jadi tiba-tiba pingin banget menulis tentang dokter. Eh, boong deh… Saya memang seneng banget sama serial TV Grey’s Anatomy (kecuali untuk adegan se*s yang sangat royal – bo… lagi seneng dikit aja kenapa mesti ciuman napsu gitu sih… - dan banyaknya drama yang melibatkan LGBT), tapi bukan itu alasan saya. Pemicu utamanya adalah dokter yang saya kunjungi semalam untuk mengetahui masalah mata yang dialami Ihya.

Kita sebut saja beliau dr. S. dr. S ini cukup baik, tapi jelas berbeda dengan dokter yang biasa kami kunjungi. Sayapun sudah menyiapkan diri bahwa nggak akan terjadi banyak diskusi. Karakter dokter memang macam-macam, sah-sah aja, tapi kadang bisa jadi hal yang vital. Karena itu saya ingin berbagi tentang dokter-dokter yang pernah saya (kami) kunjungi.

Pertama, dr. Ani
Nama lengkapnya Triani Ismelia. Beliau sebenarnya dokter kandungan saya yang kedua, tapi berhubung saya hanya mengunjungi dokter pertama sebanyak satu kali, saya nggak bisa cerita banyak. Nama dokter pertama tersebut dr. Valeria (kalau nggak salah). Orangnya cukup baik dan ramah. Santai, nggak banyak pantangan, dan nggak bikin ibu hamil anak pertama seperti saya parnoan. Oke, balik ke dr. Ani. Yang paling saya suka dari dr. Ani ini adalah… cantik dan modis!! Hehe. Orangnya juga ramah dan perhatian. Yang penting harus siap dengan segambreng pertanyaan supaya sesi konsultasinya nggak sia-sia. Hehe. Nggak banyak pantangan dan nggak banyak nakutin nanti begini nanti begitu. Pada akhirnya saya harus berakhir dengan C-Sectio, tapi karena indikasi medisnya cukup jelas, ya sudahlah.

Kedua, dr. U**nar
Bisa kelihatan yah… Namanya aja udah saya samarkan. Pengalaman saya dengan dokter ini memang bikin gondog. Sebagai dokter (yang dibayar lho), menurut saya beliau mestinya memberikan saran-saran profesional yang tepat. Pertama, Ihya tidak disarankan untuk imunisasi 0 bulan. Kedua, Ihya sempat ditawarkan susu formula (okay, ini kebijakan RS ya, saya sebut saja RS JMC, supaya ortu juga jadi lebih hati-hati). Ketiga, dr. U ini menyarankan pemberian antibiotik tanpa indikasi infeksi bakteri yang jelas. Kalaupun ada indikasi yang jelas, YANG JELAS dia tidak mengkomunikasikannya dengan baik kepada orangtua. Setelah tahu bahayanya memberikan antibiotik tanpa indikasi infeksi bakteri yang jelas, rasanya saya keseeel… banget. Not Recommended.

Ketiga, dr. Windy
dr. Windy ini kalau nggak salah dokter umum, beliau praktek di Markas Sehat. Usianya sih kayaknya masih muda. Pro imunisasi dan ASI. Dia sempat mengajari saya untuk latch-on yang benar dan membantu saya untuk melihat bon RS satu per satu untuk memastikan Ihya sudah diimunisasi atau belum. Hari itu adalah hari di mana kebutuhan saya akan konsultasi dengan dokter mencapai standar yang baru. 30 menit (bahkan lebih ya kayaknya) di ruangan, berdiskusi (sampai saya bingung mau nanya apa lagi), dan yang paling penting pro ASI, pro Imunisasi, dan RUM.

Keempat, dr. Ian
Kalau yang ini, udah lah ya… nggak usah diceritain lagi. She’s even better. Markas punya banyak pasien. Walaupun mereka membatasi jumlah pasien dalam sehari, tapi tetap saja ada rasa nggak enak kalau terlalu lama. Nah, kalau dr. Ian, berhubung beliau praktek di rumah dan pasiennya juga tidak terlalu banyak, kami bisa lamaaa… banget di sana. Bisa 1 – 1,5 jam. Haha. Bahkan Ihya suka dapat bonus-bonus sekaligus bisa main sepuasnya dengan anak-anaknya dr. Ian.

Kelima, dr… Lupa
Beliau adalah dokter di sebuah klinik 24 jam. Timbang BB, lihat Ihya sebentar,  langsung ambil buku resep. Kalau saya nggak nanya, mungkin kami hanya di ruangan selama 5 menit. Saya tanya-tanya pun ia terlihat tidak sabar dan sudah nggak melihat wajah saya. Fokus entah menulis resep apa. Saya lupa, kebanyak dokter memang seperti ini. Tapi sekian lama dengan dokter di Markas dan dr. Ian, ketemu dokter yang macam ini memang bikin mulut menganga. Tapi ya sudahlah, namanya juga dokter klinik 24 jam. Saya nggak meremehkan, tapi pendapat saya ya akan setara dengan pelayanannya.

Keenam, dr. Apin.
Hmm… ini mah nggak usah ditanya yah… Pertama, beliau dokter Markas. Kedua, beliau dokter spesialis anak. Ketiga, beliau nulis buku. Saya sampe nggak PD buat tanya-tanya, hehe. Ramaaah banget. He’s great with kids J. Terakhir, tarif konsultasinya mahal (banget), lebih mahal daripada SPA di KMC.

Ketujuh, dr… Lupa
Beliau perempuan dan praktek di KMC. Saya hampir percaya bahwa semua dokter KMC akan memberikan pelayanan yang terbaik. Saya nggak bisa cerita banyak karena hanya satu kali bertemu beliau dan jadi pasien terakhir pula. Secara keseluruhan baik-baik saja, tapi dari segi waktu konsultasi memang jauh banget dibandingkan dokter Ian atau Markas.

Kedelapan, dr. Farisda
Sebenarnya dr. Farisda ini termasuk dokter awal yang saya kunjungi. Pertama bertemu beliau saat Ihya imunisasi di Markas. Standarnya dokter di Markas lah ya. Sabar, oke banget dalam berhubungan dengan anak. Dan terakhir, beliau kasih nomor HP. Hal tersebut hanya terjadi sekali seumur hidup saya. Dokter yang kasih nomor hape buat saya keren, karena bersedia “diganggu” tanpa melulu memikirkan tarif konsultasi. Walaupun akhirnya harus ketemu juga sih di KMC, tapi amat sangat menenangkan :)

Kesembilan, dr… lupa namanya.
Beliau ini dokter spesialis mata yang saya kunjungi karena Ihya sering banget mengalami mata merah dan gatal. Sudah tuaaaaa banget. Standar dokter yang cek-cek bentar terus tulis resep. Berhubung sudah tua, saya juga sungkan buat “cerewet” tanya ini itu. Tapi ada satu hal yang buat saya lemes dan kecewa. Ternyata obat tetes yang dikasi isinya antibiotik. Ihya kan “cuma” alergi dok… :(

Kesepuluh, dr. S
Beliau ini juga dokter spesialis mata. Awalnya saya nggak banyak ambil pusing karena saya yakin Ihya alergi. Tapi berhubung Bunda kekeuh banget minta Ihya dibawa ke sana, saya datangi juga lah beliau. Lagipula saya habis dapat informasi mengenai penyakit mata yang gejalanya mirip dengan Ihya. Tapi dari awal saya sudah menyiapkan diri. Di ruanganpun saya nggak banyak nanya. Ya… mungkin kami di ruangannya kurang dari 5 menit, dan diminta untuk balik 1 minggu lagi. Saya berniat untuk balik kembali minggu depan. Tidak ada salahnya dicoba lah…

Kesimpulan yang saya dapat dari semua dokter yang pernah saya kunjungi: usia dan pengalaman memang sesuatu yang berharga. Tapi saat berhadapan dengan pasien (yang pastinya sedang sakit), sikap mengedepankan komunikasi penting banget. Jangan salahkan kalau banyak yang protes ada dokter komersil, karena memang banyak. Dokter menurut saya bukan bertanggung jawab untuk membuat pasien sembuh, tapi memberikan diagnosa yang tepat untuk menentukan terapi yang tepat. Jangan lupa juga, pasien itu awam dan butuh informasi. Edukasi mereka untuk sabar dan menjaga kesehatan. Sabar di sini berarti tidak memaksakan hilangnya gejala yang justru membuat penyakit bisa menjadi semakin parah walaupun gejalanya hilang. Maka saya sangat mengapresiasi dokter-dokter yang bersedia melakukannya. Semoga Allah membalas dengan kebaikan pula J. Oiya, selain dokter-dokter di atas sebenarnya ada beberapa lagi dokter yang pernah saya kunjungi saat sedang mengurus impaksi yang saya alami. Kebanyakan baik hati. Tapi ada 1 dokter di RSUD Budhi Asih, namanya kalau nggak salah dr. N*na. Alih-alih merujuk saya ke RS yang lebih baik (karena Budhi Asih tidak memiliki fasilitas dan dokter yang memadai), beliau justru merujuk saya ke kliniknya sendiri untuk dioperasi oleh suaminya yang spesialis bedah mulut. Beliau juga “menakuti” saya bahhwa biaya yang ditanggung Askes hanya sekitar 300 ribu saja. Saya sempat mengunjungi kliniknya saking desperado dengan alur Askes yang panjang. Bisa ditebak, kliniknya adalah klinik di ruko yang biayanya aduhai… Duh, saya miris sekali, apa sebegitunya ia butuh uang? Kalau saya punya banyak uang, buat apa repot-repot mengurus Askes. Setelah saya ke Budhi Asih dan bertemu dengan dokter yang lain, Alhamdulillah saya bisa dirujuk ke RSCM.

*Semoga ada salah satu anak saya yang jadi dokter yang kompeten dan mengedepankan komunikasi dengan pasien*