Monday, November 18, 2013

Bisa karena Biasa, Biasa karena Dipaksa :)



Bismillahirrahmanirrahiim,

Sebelum mulai, saya sungguh banyak-banyak memohon sama Gusti Allah, semoga dalam tulisan kali ini saya dijauhkan dari riya’, sombong, dan sifat-sifat buruk lainnya… Kenapa? Soalnya di tulisan kali ini isinya tentang ibadah yang saya juga belum seberapa lama melakukannya. Jadi nggak ada yang perlu dibanggakan juga sih sebenernya… Hehe *Kalo riya’ ya kebangetan :p*

Awalnya, Ayi woro-woro di grup WA kalau ada grup WA bernama ODOJ (one day one juz). Ketebak lah ya… Intinya grup ini memfasilitasi dan mendukung anggotanya untuk menamatkan satu juz bacaan Al Quran setiap hari, walaupun saya juga nggak tau mekanismenya gimana. Singkat cerita, saya termasuk yang minta di-add ke grup tersebut. Kebeneran deh… selama ini saya susaaaaah banget satu juz per hari. Sering juga nggak baca barang seayatpun dalam sehari. Parah ya… Gimana mau anaknya cinta Al Qur’an kalau emaknya kayak begini *icon ketok kepala pake batu 1000 kali*. Bulan Ramadhan kemarin saya bahkan nggak khatam 30 juz. Pokoknya angot-angotan.

Tapi yang namanya muslim, siapa juga yang nggak pingin disayang Allah ya… Akhirnya kita pasti pingin bisa beribadah dengan enteng lapang senang ikhlas, dkk. Cuma jalan menuju ke sana aja yang nggak tau harus berapa lama… Begitu denger ada grup ODOJ ini, Bismillah!! Ikut aja, biar dipaksa dan digetok sama orang satu grup kalau mangkir juz melulu, hehe. Ingat, bisa karena biasa. Biasa karena dipaksa. Haha.

Sebelum dapat pemberitahuan resmi kalau ODOJ dimulai, saya coba latihan dulu lah ya… Kan malu boook kalo hari pertama udah mangkir *duh, niatnya jelek amat sih*. Eh, ternyata bisa. Sehari, dua hari, tiga hari, dan sekarang sudah hari ke sembilan. Sekali saya nggak tamat karena diare. Bangun telat, ke kantor tak bergairah, bolak-balik ke kamar mandi, males bebersih, dan berakhir dengan tampang dan baju ala tunawisma. Alhamdulillah besoknya bisa mengejar kembali.

Trus, what is my point cerita beginian?? Intinya sih… ibadah emang harus ikhlas, Lillahi ta’ala. Tapi apa iya kita bisa ujug-ujug ikhlas? Apa bisa kita ujug-ujug rajin? Jika hari ini amalan saya masih terpaksa, masih riya’, masih banyak cacatnya… yang terpenting: lakukan. Yang kita baca Al-Qur’an, bukan tabloid gosip. Yang kita lakukan sedekah, bukan belanja. Yang kita lakukan sholat, bukan joged dangdut. Masakah Allah tidak timbulkan cinta barang setitik dengan apa yang kita lakukan?

Dan sebenarnya ini nggak semata urusan gaib semata, itu sih yang saya rasakan ya… Misalnya gini, untuk dapat 1 juz, saya harus kejar dini hari atau pagi hari paling tidak 5 lembar. Setelah itu jam istirahat siang saya segera makan, tilawah, lalu shalat. Karena saya nggak mungkin baca pas jam kerja kan? Kalau belum selesai juga maka saya harus tuntaskan sebelum tidur. Pertama, jadi belajar manajemen waktu. Kedua, “terpaksa” bangun malam. Udah bangun malam nggak sholat malam kok kayaknya nanggung yah… Ketiga, subuh jadi (jarang) kesiangan. Keempat, jadi terhindar dari acara gosip atau ngegosipin orang pas makan siang. 
Dosa kan pertama dilakukan sakit yah, tapi kalau udah biasa ya enak-enak aja jadinya. Dan insyaAllah kalau dihindari ia akan mulai terasa sakit kembali. Kayaknya itu sih salah satu dampak positif yang saya rasakan. Tadi siang rasanya jengah banget ngedengerin teman-teman bergosip, padahal mungkin biasanya saya akan menikmatinya. Kalaupun tidak menanggapi, tetep aja ada rasa penasaran. Yah… begitulah dunia.

Eeniwei… balik lagi ke ODOJ, semoga Allah membalas kebaikan para pencetusnya. Sejauh ini anggotanya sudah di atas 1000 orang *duh… aku ngiri, pahalanya pasti banyak beut itu…*. Buat saya, semoga ODOJ yang awalnya karena dipaksa ini bisa jadi kebutuhan. Kemudian menjadi energi bagi kebaikan-kebaikan lainnya. Dan semoga Allah semakin cinta dengan Indonesia, karena semakin banyak yang mencintai Al Qur’an di dalamnya. Amiiin…

Gambar dari sini

Sunday, November 3, 2013

Tentang Naik Gaji...

Bismillahirrahmanirrahiim…

Berhubung hari Jumat/1 November 2013 kemarin dilaksanakan Sidang Pengupahan untuk menentukan UMP DKI Jakarta di tahun 2014, sepanjang minggu kemarin pembahasan yang paling ramai baik on line maupun off line (bisa ditebak) adalah soal buruh yang menuntut kenaikan upah. Buruh sebenarnya buat saya merujuk pada semua orang yang berstatus karyawan atau pegawai. Direktur selama dia digaji dan bukan pemilik perusahaan ya tetap buruh lah namanya… Termasuk saya. Tapi “buruh” yang ramai seminggu kemarin adalah pekerja pabrik yang rata-rata pendidikan tertingginya setingkat SMA.

Tahun ini berita lebih ramai lagi karena tuntutan buruh nggak tanggung-tanggung, 3,7 juta. Glek… Saya cuma bisa menelan ludah. Kemudian media (sosial) pun ramai. Seperti biasa ada pro ada kontra. Yang pro bilang bahwa wajar mereka minta kenaikan karena setiap orang punya hak untuk hidup layak. Yang kontra bilang, ajegile… sarjana sekolah susah-susah gajinya juga banyak yang nggak nyampe segitu…

Terus, saya di mana? *Tarik napas dulu…*. Pertama, saya sudah berkeluarga. Dengan tujuan masa depan (finansial) yang lebih baik saya bekerja, tidak seperti mayoritas Ibu di jaman Mamah saya yang kebanyakan menjadi Ibu Rumah Tangga walaupun mereka mengenyam pendidikan tinggi. Saya benar merasakan bahwa kebutuhan hidup saat ini luar biasa. Tidak cukup dengan kebutuhan dasar sandang-pangan-papan, saat ini ada kebutuhan untuk pendidikan, pergaulan, aktualisasi diri, deelel. Yang walaupun jumlahnya tidak fantastis, tapi lumayan makan anggaran. Intinya, hidup jaman kini bukan cuma yang dasar-dasar saja… Apalagi dengan derasnya arus informasi dan konsumerisme di sekitar kita. Salahkah? Menurut saya, idealnya kita hidup dengan apa yang kita punya. Jangan berutang. Kalau kurang ya cari tambahan, tapi yang halal dan wajar. Betul kan? Apalagi di Islam kita kenal dengan istilah zuhud. Tapi dengan arus informasi sedemikian derasnya, susah sekali bukan untuk menahan untuk tidak mengikutinya?

Kedua, saya juga buruh, tapi lulusan pendidikan tinggi, Fakultas Psikologi UI. Alhamdulillah dulu saya nggak susah dalam mendapatkan pekerjaan setelah lulus. Sebagian orang mengeluh susah banget dapat pekerjaan, padahal sama-sama sarjana. Ternyata ada hasilnya juga saya dulu kuliah. Kuliah di PTN tuntutannya tinggi boo… Kalo cuek pasti ketinggalan. Untuk dapat IPK 3,21 saya harus bisa menyeimbangkan antara kuliah dan kegiatan ekstra kurikuler. Namanya juga anak muda, mana rela sih ngendon di kelas aja? Kalau ditarik lebih jauh, saya juga berjuang keras untuk bisa masuk PTN dengan passing grade Fakultas Psikologi yang saat itu terbilang tinggi. Tujuan saya masuk PTN ada 3, pertama… saya sekolah di sekolah negeri yang bisa dibilang unggulan. Hampir semua murid tujuannya adalah PTN. Owh… saya nggak mungkin dong santai-santai sementara mereka belajar?? Bisa malu nggak habis-habis nanti kalau nggak lulus SPMB. Kedua, saya anak sulung dan saya harus jadi contoh. I have to set high standard. Ketiga, sesederhana karena PTN murah, orangtua saya bukan orang kaya. Walaupun kena AFEE 8 juta, tapi saya masih bisa menikmati biaya semester 1,3 juta. Indahnya…

Sebagai sesama buruh, saya harus bilang pekerjaan saya nggak istimewa. Dan saya sudah sampai pada satu kesimpulan jika ingin menjadi istimewa, jadilah spesialis atau pengusaha. Gaji saya juga biasa saja, tergambar dari nggak banyak angka yang nyisa saat akhir bulan, haha.

Balik lagi ke persoalan Buruh yang meminta kenaikan upah hingga 68% (wow), lagi-lagi saya paham kalau seseorang mengingikan gaji besar, hidup nyaman, punya aset, dll. Tapi kira-kira pengusaha sanggup menopang itu semua nggak sih? Kenaikan UMP bukan cuma soal penghasilan tiap bulan lho… Ngaruh juga ke THR, Jamsostek, Asuransi Kesehatan, Bonus. Bukannya jahat, tapi pengusaha bikin usaha ya buat untung kan yah… Kalau cuma impas doang untuk bayar karyawan mah namanya kerja sosial. Harap diingat juga bahwa kemampuan perusahaan berbeda-beda. Ada kelas kecil menengah – besar. Bidang industri pun berpengaruh. Nggak semuanya di bisnis energi atau FMCG kan?

Kedua, kemungkinan karena nggak mampu untuk menopang kenaikan yang adil, perusahaan kemudian membuat persentase kenaikan yang besar bagi pegawai setingkat SMA dan kenaikan yang amat kecil bagi tingkat di atasnya. Kenaikan bahkan terkesan asal naik, padahal nutup inflasi aja mungkin nggak. Jadi salah besar bagi mereka yang bilang… santai aja lah… toh kalau gaji pegawai tingkat terendah naik, maka lo akan dapat kenaikan dengan presentase yang sama. Polos amat… Lalu, masih adil nggak?

Serius, ini bukan soal ngiri. Saya senang dan bahagia kalau kita semua dapat gaji setinggi-tingginya. Tapi inget deh, adil belum tentu sama rata. Saya kebetulan pernah ikut proses Job Evaluation di kantor. Versi Hay menyebutkan bahwa ada 3 faktor yang menjadi penilaian dalam Job evaluation: Accountability, Know How, dan Problem Solving. Ketiga faktor itu (dan turunannya) yang membedakan nilai setiap pekerjaan. Setiap tingkat jabatan membutuhkan penguasaan pengetahuan dan keterampilan dengan tingkat yang berbeda pula. Hasil penilaian ini nantinya juga akan berpengaruh terhadap remunerasi pegawai.



Yah, begitulah… saya dan suami yang harus kerja dua-duaan memang nggak rela kalau gap gajinya kemudian menjadi sekecil itu. Lagi-lagi, bukan karena ngiri, tetapi karena kemudian hasil yang kami dapat tidak lagi menggambarkan kontribusi setiap orang bagi perusahaan. Apalagi melihat banyaknya berita tentang buruh yang kredit Kawasaki Ninja, bawa-bawa Ipad, nenteng BB Q10. Sesuatu yang saya dan suami nggak punya keinginan untuk membelinya, karena kami sadar, menuruti mode nggak akan selesai, kami harus perpijak pada apa yang kami butuh. Saat ini baru bisa bergerak di situ, soalnya…

Eniwei… kenaikan UMP sekitar 200 ribu saja. Nggak gede, tapi mengalahkan kenaikan gaji saya tahun lalu yang cuma 100 ribu perak karena perusahaan shock dengan kenaikan UMP sekitar 46%.
Saya berdoa, keadaan ekonomi Indonesia membaik, nggak ada lagi korupsi dan pungli sehingga gaji kita semua bisa naik dengan cara yang alami dan wajar, bukan semata-mata karena tuntutan. Amin.

Oia, kita sama-sama belajar hidup zuhud kali ya? Utamakan yang penting dan sesuai kebutuhan dan jangan mengusahakan membeli apa yang sesungguhnya tidak kita butuhkan. Seperti kata suami saya (yang kesederhanaannya mengagumkan):

"There is no point in spending money you don't have, to buy things you don't need, to impress people you don't know".