Monday, March 24, 2014

Jangan Itung Untung Orang!!

Bismillahirrahmanirrahiim...

Kata bijak di atas konon asalnya dari Cina, ya... paling nggak menurut Papah begitulah prinsip kolega-koleganya yang memang keturunan Tionghoa.

Kayaknya mudah ya... hitung saja untung yang Anda dapat dan tutup mata dan telinga atas untung yang didapat orang lain. Saya memaknainya secara luas sebagai: syukurilah apa yang menjadi milikmu, apa yang kau punya, dan jangan lihat kenikmatan orang lain seolah kamu berhak atasnya.

Kadang kalimat di atas jadi becandaan antara saya dan suami kalau lihat teman atau rekan yang sudah punya ini itu. Tapi ternyata saya tidak pernah benar-benar meresapinya sampai dengan pagi ini.

Ada suatu kejadian yang membuat saya merasa iri akan sesuatu yang dimiliki orang lain. Kepingin apa yang dipunya orang? Sering!! Tapi iri? Saya bukan orang suci, tapi saya boleh bilang hal seperti itu jarang saya rasakan. Kalaupun ada biasanya saya bukan iri dengan harta benda. Namun saat itu berbeda.

Sampai di satu titik saya merasa iri dan marah. Kanapa dia dapat dan saya nggak? Kemudian saya mulai berimajinasi bahwa apa yang ia dapat haruslah saya dapat juga. Saya banyak mengalah dan saya selalu nrimo, sekarang saatnya. Sini kasih ke gue!! *gaya ala tokoh antagonis di sinetron sambil nadah*.

Setelah titik itu... ada lagi titik lain, saya sedih, kesal, kecewa, dan bahkan tidak mood untuk melakukan apapun hampir selama dua minggu. Ya, sebegitu dalamnya. Bahkan itu semua mempengaruhi tingkat kesabaran saya dalam menangani Abang.

Alhamdulillah suami saya menyadari bahwa ada yang berubah dalam diri saya. Katanya saya terlihat stress akhir-akhir ini dan mengajak saya nonton (hemat) – kalo nggak mana gue mau, ntar yang ada tambah stress. Hehe- hari Senin kemarin. Kami janjian di mall layaknya orang pacaran. Anak titip dulu lah ke ART. Setelah itu kami ngobrol santai ke sana ke mari sampai kemudian saya menceritakan semua yang saya rasakan. I cried (again).

Kami berkesimpulan sikap yang paling sehat untuk diambil saat ini adalah jujur pada diri sendiri. Saya besar (secara sadar, tanpa didoktrin oleh orang tua) untuk menjadi anak yang tidak banyak menuntut, nrimo, dan (sok) kuat. Ada baiknya, tetapi sama sekali nggak sehat saat itu semua dipendam dan jadi penyakit hati yang bikin kotor.

Tapi saat shalat dhuha pagi ini saya kembali teringat, “jangan itung untung orang”. Saya kembali menangis... hati saya masih sakit dan perasaan iri itu masih ada. Tapi pelan-pelan saya mencoba menghitung “untung” yang saya punya. Wajah cantik dan rupawan (huekk!!), otak cerdas dan pintar (huekk lagi!!), anak yang sehat dan cerdas (walaupun sekarang lagi sakit), suami yang ganteng dan pengertian (dulu banyak yang naksir loh!!), pekerjaan, bisa berbagi rejeki dengan orang lain, harta benda yang walaupun nggak seberapa tapi kami kumpulkan sendiri, nggak kena kabut asap kayak di Riau, punya kesempatan ke luar negeri menemani suami, dll... dll. Kalau saya hitung semua mungkin dhuha 12 rakaat juga nggak cukup.

Jujur dan melepaskan emosi memang baik, tapi saya pikir bersyukur tetap lebih baik. Kadang saat kita jujur orang lain harus tersakiti. Namun seandainya saya bisa ikhlas maka tak perlu ada yang tersakiti. Karena semestinya saya tahu, rejeki yang sudah Allah siapkan buat saya tidak akan lari ke manapun. Saya hanya perlu mencarinya. Bahkan kadang saya tidak perlu menginginkannya.

Maka doa saya pagi ini jelas sudah, jadikanlah diri ini penuh syukur dan janganlah aku kufur dari nikmatMu.

Salam.