Sunday, November 8, 2015

Membuat Bola Sabun dan Coklat


Bismillahirrahmanirrahiim…

Tadinyaaa… hari ini saya ingin memulai aktivitas-aktivitas belajar yang menyenangkan bersama Abang. Sebelumnya sih sudah nyontek dan bookmark ide di mana-mana. Tapi realisasinya nggak ada. Tetapi oh tetapi… sepertinya saya sudah nggak kuat begadang. Tidur jam dua malam dan bangun dengan keadaan luar biasa ngantuk. Setelah itu bangun-tidur-bangun-tidur sampai jam 11. Bener-bener nggak enak banget rasanya… dan akhirnya rencana awal harus sedikit berubah.

Sebelumnya saya cerita sedikit… Kita mungkin sama-sama tahu bahwa jam menonton TV wajib banget buat dibatasi. Tapi sesampainya di Adelaide saya agak terlena. Selain karena acara anak-anaknya bagus-bagus dan cukup aman, kartun-kartun ini juga amat membantu Ihya untuk menambah kosakata dalam bahasa Inggris. Tapi lama-lama menjadi kecanduan. Gejalanya adalah Ihya susah sekali dialihkan kalau sedang menonton TV. Sering tidak mendengar dan mata tetap tertuju ke televisi saat dipanggil.

Saat kesulitan mencari remote untuk menyalakan TV pun rasanya bikin dia frustasi. Saya dan Syami berpikir ini hanya masalah kurangnya kegiatan pengisi. Tapi ternyata nggak juga, dan saya mengetahuinya hari ini. Walaupun sudah coba dialihkan dengan kegiatan lain tetapi masih teringat terus dengan acara TV.

Sekarang ya tugas saya adalah membuatnya sibuk sedemikian rupa agar teralihkan dari TV. Saya dan Syami sepakat untuk tidak menambah aturan baru terkait TV, agar Ihya tidak tertekan dengan banyaknya peraturan dan larangan.

Kembali lagi, rencana aggak berubah karena saya bangun kesiangan. Tapi, bagaimanapun harus tetap dimulai. Biarlah rumah berantakan karena belum disentuh sapu sama sekali. Ide pun spontan saja tidak mengikuti perencanaan saya sebelumnya.

Kegiatan pertama, membuat bola sabun. Resepnya lihat di buku Boredom Busters:
  • Cairan pencuci piring ½ cup
  • Air 1 ½ cup
  • Gula pasir 2 sdt
Saya hanya pakai setengah resep dan itupun jadinya sudah cukup banget untuk main berdua. Niupnya pakai apa? Cari saja barang-barang di dapur yang memiliki lubang berbantuk bulat. Kalau saya pakai stensil untuk cupcake dan ujung spatula. Selain itu saya juga membelah botol plastik menjadi dua agar dapat ditiup dari salah satu ujungnya.



Yak, ternyata walaupun kegiatannya cukup menyenangkan tapi tidak bertahan lama, hanya sekitar setengah jam saja. Kamipun kembali ke dalam rumah.
Saya sambil putar otak “setelah ini mau ngapain lagi ya?”. Kebetulan ada sedikit coklat sisa membuat eclairs kemarin. Jadilah saya gunakan kembali stensil untuk membuat coklat aneka bentuk. Lumayaaan… bisa mengalihkan Ihya untuk beberapa saat. Ihya pun senang karena bisa colak colek coklat.




Tapi paling tidak sudah dimulai, dan mudah-mudahan esok hari lebih baik lagi :)


Monday, October 5, 2015

Victor Harbour & Urimbirra



Bismillahirrahmanirrahiim…

Ceritanya nih, laki-laki kecil di rumah sedang Spring Holiday selama dua minggu. Dan laki-laki besar juga sedang liburan sebelum mulai trimester berikutnya. Dan ini berarti saatnya kembali memberdayakan Getz untuk jalan-jalan!!

Dalam dua minggu ini kami sempat mengunjungi beberapa tempat. Dan semuanya berkesan buat saya. Bukan cuma soal tempatnya, tapi yang terpenting Ihya senang dan menikmati sesi jalan-jalannya. Jujur saja, salah satu momok saya dan Bunny kalau mengajak Ihya jalan-jalan adalah mood-nya yang tiba-tiba berubah. Entah karena masalah kecil, capek, atau sedang pingin mengerjakan kegiatan yang lain.

Destinasi pertama adalah Victor Harbour. Victor Harbour adalah kawasan wisata pantai dengan laut yang, Masya Allah, bagus banget!! Warnanya biru terang yang sepertinya efek dari langit Adelaide yang biru dan bersih. Dari bulan Mei – Oktober setiap tahun ada rombongan paus yang melintas untuk berkembang biak. Tapi tur Whale Watching-nya sendiri berharga 60 AUD per orang *mundur teratur*. Ada juga SA Whale Centre, tapi karena waktu yang terbatas kami hanya sempat mengunjungi dua tempat: Victor Harbor (termasuk Granite Island) dan Urimbirra Wildlife Park.

Urimbirra Wildlife Park

Tempat ini sebenarnya seperti kebun binatang mini dengan binatang khas Australia. Sebagian dilepas bebas dan sebagian lagi ada di dalam kandang. Berhubung akhirnya untuk pertama kali kami berinteraksi langsung dengan kanguru dan emu, jadilah super super semangat dan berasa asyik banget tempatnya. Sayangnya kami melewatkan sesi ramah tamah dengan koala. Tapi secara keseluruhan cukup menyenangkan. Selain itu ada juga berbagai jenis reptil.

Sayangnya di sini kami agak terburu-buru karena mau lanjut ke tempat selanjutnya yaitu Victor Harbour.
Untuk informasi lengkap bisa dilihat di sini: http://urimbirra.com.au/

Victor Harbor

Nah… sebagai penyuka pantai, sukak banget sama tempat yang satu ini. Secara keseluruhan saya suka banget pantai-pantai di Adelaide. Karena semuanya bersih, nggak terlalu ramai, dan GRATIS *penting banget*. Nah, khusus Victor Harbour, sukak banget banget!!

Pertama, ini memang kawasan wisata yang cukup besar. Ada banyak tempat makan dan biasa jadi pusat keramaian. Pas banget ada Rock and Roll Festival pas kami berkunjung ke sana. Jadi di depan ada laut biru di belakan ada lagu-lagu rock and roll dan mobil-mobil kuno yang masih cakep banget. Jadi ada baiknya sebelum berkunjung coba cek apakah ada event tertentu yang sedang berlangsung.

Kedua, pas banget dikunjungi seharian karena ada banyak tempat gelar tikar dan playground yang caem-caem.

Ketiga, ada museum entah apa namanya yang sayangnya nggak kami kunjungi karena waktu yang sudah mefffets. Ada Penguin Centre juga, tapi sayangnya sedang dalam perbaikan dan nggak menerima pengunjung. Dari jauh kami bisa melihat satu dua pinguin bergabung dengan burung-burung lainnya. Ada tur Whale Watching/Dolphin Cruises juga loh… Jadi bisa jadi sarana edukasi buat anak-anak. Tapi harganya lumayan bikin elus dada ya qaqa…

Keempat, ada Historic Horse Drawn Tram: tram bertingkat yang ditarik kuda. Tram ini melewati jembatan yang menghubungkan Victor Harbour dan Granite Island. Tramnya sendiri jalan satu jam sekali dengan tiket yang dijual sama supirnya *berasa naik Kopaja nggak sih?*. Harganya lumayan mahal sih… Family Pass berharga 19 AUD sekali jalan atau 25 AUD untuk bolak-balik. Tapi kalau menurut saya sih nggak papa lah mumpung ada di sini. Hehehe.

Kelima, Granite Island. Ini adalah sebuah pulau yang seperti namanya mengandung banyak sekali batu granit. Pasirnya pun tidak putih dan halus seperti pantai lainnya yang pernah saya kunjungi, tetapi coklat/hitam dengan butiran-butiran kasar. Jadi jangan berharap bikin sand castle di sini. Cuma tetap bisa main air kok J
Di Granite Island ini ada semacam jalan setapak mengelilingi pulau dan dari tempat tertingginya pastinya bisa melihat pemandangan yang indah banget. Saya sendiri nggak nyobain sih karena harus bawa stroller dan mempertimbangkan kekuatan bocah juga *alesssan, padahal mah ngos-ngosan*

Dengan jarak sekitar 79 km dari rumah, aku tak menyesaaal. Pinginlah balik lagi kapan-kapan kalau sudah menyambangi tempat-tempat yang lain. Perjalanan juga lancar dengan pemandangan yang indah sepanjang jalan.
Cerita pertama tentang Victor Harbour dulu yaaa… Insya Allah akan disambung cerita tentang tempat-tempat selanjutnya. Selamat menikmati foto-foto kamiii!!










Thursday, September 10, 2015

Setahun IRT

Bismillahirrahmanirrahiim…

Di sela PR-PR yang belum kelar, mari ah kita nge-blog… Tema yang akan tulis ini sebenarnya sudah direncanakan beberapa waktu yang lalu, tapi pinginnya dipasin dengan tanggal 6 September. Eh… tetep ya booo… nggak kunjung ditulis dan hiyaaa… baru ditulis sekarang.

Emang tentang apaan sih sampai harus dipas-pasin gitu?? 6 September tahun ini menandai satu tahun sudah saya tinggal di Adelaide. Tapi nggak mau ngebahas tentang Adelaidenya juga sih… Melainkan tentang pekerjaan baru yang saya jalani 1 tahun ini: Ibu Rumah Tangga (IRT).
Suatu hari suami saya nanya, “Kamu seneng nggak di rumah? (jadi IRT maksudnya)”. Saya jawab: “Seneng”. Udah… gitu aja. Hahaha.

Kenyataannya? Ya seneng laaah… Bertahun-tahun saya mengidamkan bisa mengurus anak-anak secara langsung. Kalau pernah baca posting saya yang ini, dulu saya memang masih dengan pilihan untuk menjadi Ibu Bekerja. Tapi semakin lama… anak semakin besar… dengan tantangan dunia yang semakin kompleks… duh… rasanya pingiiin banget secepatnya tinggal di rumah. Mau cerita dikit boleh ya… Harap dipahami, this decision made because it’s me, my life, and my family. Kalau orang lain bisa, mungkin saya aja yang kurang canggih jadi nggak sanggup kerja lagi.

Dulu saya berpikir bekerja bukan hanya soal cari uang (yang memang saat itu dibutuhkan), tapi juga mengamalkan ilmu. Terus terbayang lah itu pekerjaan-pekerjaan saya di kantor. Umm… kayaknya nggak juga deh. Sebagian iya sih… Tapi justru banyak hal saya pelajari sendiri dengan berguru kepada atasan dan rekan sekantor.

Terus saya berpikir juga bahwa bekerja adalah bagian dari tanggung jawab terhadap dan membahagiakan orangtua. Saya nggak pernah nanya sih orangtua saya lebih senang saya kerja atau nggak. Kadang Mamah menegaskan bahwa perempuan itu harus mandiri, punya uang sendiri. Tapi kadang beliau juga yang bilang “kasihan tuh Abang nggak sama Ibunya”. Tapi terlepas dari itu semua… Mau orangtua suka atau nggak suka, saya akan dimintai pertanggungjawaban atas anak-anak saya bukan atas orangtua saya. Kewajiban saya kepada orangtua adalah berbuat baik terhadap mereka, yang mana itu bisa luaaaaas banget.

***

Saya ingat betul, menjelang keberangkatan saya dan Ihya ke Adelaide, Ihya sedang dalam tahap sering tantrum parah-parahnya. Beberapa kali saya mengaum bagai singa saat marah saking frustasinya menghadapi Ihya. Beberapa kali saya dipukulnya. Nangis? Sering!! Terakhir bahkan saya butuh waktu berjam-jam sendiri setelah dipukul oleh Ihya. Ya Allah… sediiih banget rasanya… Saat itu benar-benar menjadi masa di mana saya mempertanyakan diri saya sendiri, “gue kerja buat apa sih?”. Saya berkeyakinan Ihya akan lebih baik di tangan saya langsung. Bukan ke-PD-an, tapi memang seharusnya begitu kan?

Beberapa minggu pertama di Adelaide saya kewalahan betul menghadapi Ihya. Hamil besar, anak tantrum di tempat umum, di tempat di mana Anda bisa dilaporkan ke polisi saat kasar sama anak. Tapi sejatinya, bukan cuma saya yang frustasi, Ihya mungkin lebih frustasi lagi. Aturan-aturan yang asing buat dia tiba-tiba diterapkan. Keinginannya yang biasa dengan mudah terpenuhi sekarang harus ditunda. Hal-hal yang biasanya dibantu orang lain sekarang mulai harus dilakukannya sendiri.

Namun, setelah beberapa minggu kami mulai melihat perubahan-perubahan positif. Berat memang buat Ihya, tapi karena kami punya cukup banyak waktu dengan Ihya, kami bisa terus memberikan penjelasan, dan terutama meyakinkan Ihya bahwa… Ibu tuh sayaaang banget sama kamu Nak, makanya Ibu dan Ayah melakukan ini semua.

Dan tak terasa bulan berganti sampai sekarang sudah setahun saya menjadi IRT. Biarpun senang, tetap lah ya… ada tantangannya. Yang pertama, capek. Banget. Hahaha. Kadang saya juga bingung kenapa bisa capek banget ya? Tapi mungkin ya kalau dibandingkan kerja di kantor aktivitas fisik di rumah jelas lebih banyak *nggak usah disebutin lah ya ngerjain apa…*. Ada juga temen yang nanya: “ngapain aja di rumah?” *langsung sensi*. Ya sudahlah… tak apa… dulu saya juga mikir kenapa sih Mamah kayaknya capek banget. Padahal kan enak bisa tidur siang *ampun Maaah…*. Pada kenyataannya saya juga hampir nggak pernah tidur siang tuh di rumah… Hahaha.

Yang kedua, rasa bosan. Kalau ini mah nggak usah diperpanjang karena saya memang tipe orang yang gampang bosan. Hehehe. Nggak usah di rumah, di kantor juga gitu kok. Kalau sudah bosan begini ya pinter-pinter nyari hiburan aja… Kalau buat saya yang hobi masak ini adalah saatnya bereksperimen dengan masakan baru, cari-cari resep, mantengin cara buatnya di Youtube, terus dibikin deh… Bisa juga dengan nonton film… atau sekedar jalan-jalan di sekitar rumah. Pada akhirnya memang tetap sambil digelendotin anak-anak sih… tapi nggak papa, sebentar lagi mereka juga gede. Hehe.

Yang ketiga, ujian sabar sampai ke ujung kepala. Hahaha. Misalnya niiih… tangan kiri gendong anak, tangan kanan megang masakan, terus anak yang satu lagi manggil-manggil ngajak main atau sekedar ngeliat hasil “prakaryanya”. Atau lagi nidurin anak yang sakit terus tiba-tiba anak yang satu lagi buka pintu sambil ngajak ngomong dengan suara yang keras, bangunlah anak satu lagi… dan terbayanglah pekerjaan yang lain tertunda. Dst… dst… Melayani anak kecil yang hampir nggak pernah diam buat saya cukup berat. Ia bisa nanya hal yang sama berkali-kali. Bisa menjelaskan sesuatu yang buat kita biasa aja dengan sangat antusias. Bisa lupa apa yang kita kasih tau hanya sekitar dua menit setelahnya.

Yang keempat, dalam waktu yang cukup lama setelah tinggal di rumah saya masih menganggap ini adalah sebuah “libur panjang”. Selain itu, saat di kantor waktu kerja saya ya jelas, membagi waktunya juga jelas, berbeda dengan di rumah di mana kitalah yang menentukan semuanya. Nggak lama kemudian saya melahirkan anak kedua dan harus beradaptasi dengan jadwal dedek yang masih berubah-ubah per beberapa minggu. Rasanya kok rumah nggak beres-beres ya? Alhamdulillah sih sekarang mulai ketemu ritmenya. Saya kasih bocoran sedikit ya, buat saya yang terpenting itu bukan rumah rapih, tetapi rumah diberesin. Hehe. Jadi kerjakanlah apa yang harus dikerjakan… jangan khawatir kembali berantakan. Bisa tunggu sampai besok kok ;)

Yang kelima, gimana ya tetap bermanfaat dari rumah? Kuncinya sih menurut saya di manajemen waktu dan jangan terlarut dengan keinginan untuk membuat  rumah rapih cemerlang. Hahaha. Ya… saya juga masih berjuang dengan yang satu ini kok. Saya coba mengisi waktu dengan kembali ngeblog, ngaji, masak buat acara pengajian, ngajarin ini itu ke anak, ngajak mereka ke luar sambil bergerak bebas. Buat saya mah itu bermanfaat juga. Justru harusnya anaklah prioritas kan? Setelah urusan rumah dan anak-anak bisa tertangani dengan baik perlahan-lahan tenaganya dibagi dengan masyarakat. Iya… saya tahu, beberapa orang udah melakukan itu dari dulu. Tapi buat saya yang terpenting skala prioritas dan kenali kemampuan diri sendiri. Salah satu sifat jelek saya adalah pingin mengerjakan semuanya. Pinginnya tuh membuktikan bahwa gue bisa ini dan itu. Membuktikan bahwa saya nggak lemah dan bisa mengerjakan apapun. Kenyataannya? Nggak mungkin. Sedikit tapi beres buat saya jauh lebih baik.

Yang keenam, dan paling bikin galau adalaaah… tak berpenghasilan. Dududu. Nggak ada yang salah loh dengan menjadi IRT dan nggak berpenghasilan… Awalnya saya merasa kok rasanya aneh ya dapet uang jajan dari suami… Tapi sebenarnya ini masalah pembagian peran aja kok… Walaupun tetep yah saya gatel. Hihi. Sempat juga mau melamar pekerjaan tetap di perkebunan, tapi kemudian saya menampar diri sendiri “dulu yang mau jadi IRT siapa woooy??!”. Akhirnya sekarang saya berjualan makanan, dan insya Allah pingin diteruskan sesampainya di Jakarta nanti, jadi sambil latihan lah… Di sini sih yang namanya mengerjakan “blue collar job” nggak masalah dan sudah jamak dilakukan. Pingin juga dong ah buat nambah modal usaha, tapi yang jelas nggak mengganggu waktu suami dan anak-anak. Yang saya ingat selalu adalah kami di sini karena suami kuliah, maka kuliahnya adalah prioritas utama. Tugas kami semua ya mendukung supaya itu bisa terselesaikan dengan baik.

Sejauh ini sih itu aja yang saya rasakan (Aja?? Banyak gitu woy!! Hehe). Setelah merasakan sebagai Ibu Bekerja dan IRT, nggak sedikitpun saya sesali keputusan ini. Nanti nggak tau sih… hahaha. Tapi bukankah semua hal pasti punya sisi menyenangkan dan tidak? Waktu saya saat ini bersama anak-anak saya syukuri banget. Apalagi kalau ingat sore-sore becanda guling-gulingan di kasur sama Ihya dan Sulha. Mendengar tawa renyah mereka berdua. Saya yakin banyaaaaak banget Ibu Bekerja yang amat sangat menginginkannya dan iri berat sama saya :)
.
Nah… dulu salah satu faktor saya bekerja adalah untuk menambah penghasilan keluarga. Tapi seiring berjalannya waktu saya melihat beberapa pengalaman orang lain bahwa rezeki itu benar-benar kuasa Allah. Hanya DIA yang berhak menghitungnya. Alhamdulillah… walaupun saya nggak bekerja, kami nggak kekurangan suatu apapun, padahal anak bertambah :)

Sekarang fokus saya adalah bagaimana menjalani peran ini sebaik-baiknya. Menjadi manajer rumah tangga yang baik. Guru dan tauladan yang baik bagi anak-anak sampai mereka menjadi mandiri. Istri yang diridhoi suami. Dan tentu saja pengusaha kue yang sukses ya qaqaaaaa *banyak maunya ih…*

Dan kalau ada yang nanya, “nanti pas pulang ke Jakarta ada rencana kerja kantoran lagi nggak?”, jawabnya udah enteng: “nggak”.

Wednesday, September 2, 2015

Mt. Buller Roadtrip

Bismillahirrahmanirrahiim…

Setelah hampir sebulan berlalu, akhirnya cerita tentang roadtrip Mt. Buller terbit juga!! Umm… sebenarnya udah sempat nulis lumayan panjang dan rencananya akan dibuat beberapa tulisan, tapi… siapa lah aku ini… kayak bakal ada yang baca ajah. Hihi. Jadi, mumpung mood nulis lagi bagus dan anak-anak tidur, mari kita nge-blog sambil ditemani secangkir kopi karamel.

Penting banget yah roadtrip ini buat diceritain?? Penting banget!!
Pertama, karena ini adalah perjalanan darat terpanjang pertama keluarga Hisyami Adib. Kedua, karena perjalanan ini mempertaruhkan banyak hal *tsaaah* Terutama kenyamanan selama perjalanan. Masing-masing punya karakter tersendiri. Ada yang sangat hati-hati dan maunya semua sesuai rencana... Ada yang spontanitasnya suka kelewatan... Ada yang energinya besar dan gampang bosan... Ada juga yang  masih bayi. Tahu kan semanis-manisnya bayi tetep suka-suka dia dong... mau pup kek, mau nangis kek, mau nyusu kek…

Cerita sedikit ya... Dari awal tahu kalau Bunny (ini panggilan sayang buat suami saya :)) jadi penerima beasiswa AAS, yang saya tanya adalah: di Australia ada salju nggak? Jawabnya: Ada. Dan diidam-idamlah itu yang namanya salju. Sampai suatu ketika saya mikir… Abang bakal seneng nggak ya main salju? Karena tahu dong… anak segitu kalau udah cranky nggak peduli bapak ibunya keluar duit berapa… Hahaha. Nyesek nggak siiih… Akhirnya dari sana rencana persaljuan maju mundur. Tapi si Ibu galau dan pingiiin banget ngerasain salju beneran. Long story short, akhirnya diputuskanlah kami berangkat ke Mt. Buller. Naik mobil. Pertama, karena lebih ekonomis. Kedua, karena passportnya Sulha belum jadi. Daripada tiba-tiba terhalang di bandara dan gigit jari, diputuskanlah kami berangkat naik mobil. Ketiga, akan lebih mudah berhenti dan istirahat kalau dua anak tiba-tiba bosan di jalan.

Tadinya Bunny menolak mentah-mentah ide ini. Karena pasti perjalanan akan sangat lama dan melelahkan. Google Maps boleh bilang perjalanan hanya makan waktu 8 jam. Tapi bawa bayi dan balita? Mana mungkiiin… Total kami menghabiskan 14 jam saat berangkat dan lebih lama lagi saat pulang.
Rencana awal yang saya ajukan, setelah dari Mt. Buller kami akan berkeliling Melbourne dab kemudian pulang lewat Great Ocean Road (GOR). Tapi sepertinya nggak memungkinkan karena melewati GOR sendiri sudah makan waktu cukup lama. Bisa-bisa kami sampai di Twelve Apostles saat hari sudah gelap. Karena kami lebih tertarik dengan objek di sepanjang GOR, akhirnya jalan-jalan Melbourne dicoret dari rencana.

Alhamdulillah selama perjalanan terbilang cukup nyaman dan menyenangkan, yang nggak enak-nggak enak pun buat kami jadi pengalaman tersendiri yang tak terlupakan.

Pemandangan sepanjang jalan buat saya indaaah banget. Dari mulai padang rumput, samudera, sampai hutan. Hutan? Yep. Entah dapat info dari mana kami diarahkan Waze lewat Cape Otway Rain Forest. Padahal Google Maps menyarankan jalan yang berbeda. Sempet bete sih karena saya pegang Gmaps. Bayangkanlah seorang pengemudi pemula masuk hutan yang jalanannya sempit dan basah. Langit yang tadinya terang tiba-tiba jadi gelap terhalang pohon-pohon tinggi. Alhamdulillah masih jalan di pinggir tebing, bukan jurang. Tapi teteup jantungan karena tiba-tiba terhalang gundukan tanah longsor. Sepanjang jalan ada peringatan bahwa jalan yang sempit itu banyak dilalui truk kayu, untungnya nggak ada ketemu. Begitu keluar hutan rasanya legaaa banget.

Beberapa kali mobil kami sedikit goyang karena terpaan angin, maklum... mobil kecil ditambah lagi jalanan cukup lengang dan di kanan kiri ada hamparan rumput terbuka.

Gimana Abang selama di perjalanan? Amat sangat bisa ditebak dia akan bete karena energinya yang besar itu nggak tersalurkan. Mulai dari minta pulang di tengah jalan... membuat suara-suara aneh... dan sempat juga dia menggumam sepanjang jalan: “I’m so so so so so tired” yang diucapkan dengan aksen Australia (yang membuat kalimat itu 5 kali lebih nyebelin). Tapi Alhamdulillah saat perjalanan pulang Abang jauuuh lebih kooperatif. Mungkin karena kami jalan dengan lebih santai dan berhenti di beberapa objek. Mungkin juga karena Abang bahagia banget bisa main salju seharian (umm… nggak seharian sih, tapi cukup puas lah!!). Rasanya lega banget melihat Abang senang main di Mt. Buller. Dia cuma merengek saat diajak pulang. Saya sendiri puasss banget bisa menikmati hamparan salju. Alhamdulillah cuaca cukup cerah, anak-anak juga sehat dan nggak ada keluhan berarti. Momen paling indah buat saya adalah saat naik chairlift. Salju di mana-mana dan sunyi sampai hampir nggak terdengar suara apapun, kayaknya untuk beberapa saat saya merasa bener-bener sendiri... walaupun kemudian sadar sedang menggendong Sulha *buyar... buyar...*

Pengalaman tak terlupakan lainnya adalah saat kami terpaksa masuk Melbourne CDB. Maaak... lalu lintasnya mirip banget sama Jakarta, tapi tentunya dengan tampilan yang lebih cakep dan lebih teratur. Usut punya usut beberapa teman yang tinggal di Clayton (kota kecil dekat Melbourne) bahkan nggak berani bawa mobil ke CDB. Kami sempat beberapa kali teriak terkaget-kaget dan salah mengikuti petunjuk peta. Macetnyapun luar biasa (siapa suruh masuk CDB malam Sabtu pas ada pertandingan di Ettihad Stadium??!). Pengendaranya pun lebih metal dibandingkan Adelaide.

Sempat juga melewatkan kesempatan foto bareng Neil DeGrasse Tyson. Uhuhu... nyeselnya pake banget.

Oia... karena sudah kemalaman akhirnya kami menginap satu malam lagi di Warnambool. Besok paginya karena punya waktu lumayan akhirnya disempatkan foto (doang) di Blue Lake Mt Gambier.

Seneng? Banget!! Alhamdulillah dikasih kesempatan untuk jalan-jalan sekeluarga seperti ini. Dan ternyata ada yang ketagihan :) *lirik Bunny*

Terus foto mana fotooo??! Silahkan menikmati. Salam!!

Pink Lake.
Keliatan nggak warna pink-nya?





Mt. Buller










Lighthouse











Twelve Apostles:










Mount Gambier




Monday, February 2, 2015

Catatan Menyusui

Bismillahirrahmanirrahiim...

Catatan menyusui ini saya buat untuk berbagi pengalaman menyusui dua anak yang kebetulan sama-sama susah untuk menyusu di bulan-bulan awal. Saat ini Alhamdulillah saya sudah bisa menyusui bayi kedua (namanya Sulha) dengan lancar. Kira-kira 4 hari yang lalu saya juga sudah menimbang Sulha kembali. Kenaikan berat badannya selama 9 hari sebesar 470 gram. Jauh melampaui target minimal 150 gram... Yang artinya Sulha sudah tumbuh dengan baik hanya dengan ASI saja *emoticon senyum super lebar*. Yang artinya juga sudah 2 minggu Sulha lepas dari susu formula. Yang artinya lagi Sulha sudah kembali ke persentil awal saat ia lahir.

Angka-angka tersebut memang bermakna besar buat saya. Anak masuk rumah sakit karena kurang nutrisi buat saya benar-benar pukulan besar... apalagi karena di saat yang sama saya "memaksanya" untuk belajar menyusu.

Saya tetap pada prinsip awal "menyusuilah dengan keras kepala". Karena terkadang menyusui tidak semudah kelihatannya. Saya termasuk yang dulu berpikir bahwa menyusui itu gampang. Anak kedua lebih santai lagi... karena saya merasa telah melewati ujian berat dalam menyusui.

Sesuai dengan judulnya, tulisan ini berisi beberapa catata pribadi tentang menyusui. Pribadi ya... jadi monggo diberikan masukan apabila memang ada yang kurang tepat secara medis dan ilmiah :)

Pertama, ilmu itu penting. Apapun yang kita lakukan pasti butuh belajar, termasuk menyusui. Jadi untuk para wanita baik yang belum menikah, sudah menikah, maupun sedang hamil wajib untuk cari ilmu sebanyak-banyaknya tentang menyusui. Walaupun belum praktek, tapi paling tidak kita tahu teorinya.

Kedua, menyusui itu sangat alami. Artinya hampir semua perempuan bisa menyusui. Saat turun semangat waktu belajar menyusui Ihya dan Sulha, saya ingat terus bahwa saya pasti bisa. Kami pasti bisa *MLM banget ya bo gue...*.

Ketiga, walaupun alami tapi menyusui juga sebuah skill atau keterampilan. Jadi kalau belum berhasil, ulangi langkah-langkahnya dari awal. Lagi dan lagi sampai berhasil. Kalau belum berhasil mah rasanya beraaat banget... Tapi pasti akan berhasil jika kita konsisten.

Keempat, tenang. Di akhir-akhir masa belajar menyusui antara saya dan Sulha, saya mendapati bahwa Sulha semakin bingung kalau saya sedang kalut, panik, dan sebagainya. Jadi kenali situasi-situasi yang bisa bikin kita panik. Misal, menyusu di tempat umum (solusinya bisa bawa ASIP atau susui anak sampai kenyang sebelum bepergian). Atau anak nangis (solusinya kenali tanda-tanda anak lapar. Jadi jangan sampai anak terlalu lapar. Kita panik, anakpun nggak fokus).

Kelima, kenali tanda-tanda kecukupan ASI. Banyak ibu-ibu yang semangat memberikan ASI, tapi di sisi lain mengabaikan kecukupan gizi anaknya. Saya mungkin termasuk dalam kategori ini. Saking yakin dan semangatnya, saya mengabaikan bahwa Sulha megap-megap mengejar berat badannya... Nah, kesalahan saya jangan diulangi ya... Solusinya ya mengontrol terus kecukupan gizi anak. Monitor terus berat badannya. Ini penting banget selain frekuensi buang air kecil dan besar. Kalau perlu timbang beberapa hari sekali ke Posyandu.

Keenam, kalau tanda kecukupan ASI tidak menggembirakan... Segera cari bantuan. Sekarang Konselor Laktasi sepertinya sudah banyak... Bahkan ada yang bisa melakukan home visit. Pada akhirnya Konselor Laktasi ini mungkin "hanya" memberikan saran-saran yang sudah kita tahu. Tapi peran terpenting mereka buat saya adalah pompaan semangat bahwa semua kesulitan ini bisa dilewati. Melinda, konselor terakhir yang saya temui memberikan rencana (kasih formula berapa banyak, kapan harus dikasih, berapa target kenaikan berat badan, dst) dan memonitornya dari waktu ke waktu.

Ketujuh, sistem pendukung yang baik. Dengan Ihya saya punya Mamah dan Suami. Dengan Sulha saya punya Suami dan Ihya. Mereka yang selalu menaruh kepercayaan besar atas keputusan yang saya pilih. Tidak menghakimi apapun pilihan saya. Dan pastinya membantu secara nyata saat saya kelelahan. Di puncak kegalauan saya, saya menangis. Bukan menangis tersedu-sedu ya... tapi nangis beneran. Di depan suami dan anak-anak saya. Ihya sampai ikutan sedih... Tapi Suami dan Ihya menenangkan saya, memberi semangat bahwa Sulha pasti akan bisa melakukannya. Dan Alhamdulillah besoknya saya lebih tenang dan Sulha pun mulai menyusu dengan baik :)

Dua bulan bukan waktu yang singkat... setiap Sulha mulai merengek kelaparan saya grogi dan takut. Karena itu artinya saya akan menghabiskan malam-malam panjang kurang tidur. Capeknya bukan main mengurus bayi yang merasa tidak cukup siang dan malam... Tapi saat membuahkan hasil... saya segera lupa rasa capek itu. Yang ada hanya syukur... Jadi, tetaplah menyusui dengan keras kepala... Kalau kemudian harus memberikan formula, ya jangan patah arang dong ah... segera tata dan kembali ke jalan semula. Insya Allah semua usaha akan bernilai kebaikan :)

Semoga bermanfaat. Semangat ASI!! :)

Friday, January 2, 2015

Ujian ASI

Bismillahirrahmanirrahiim...

Saya adalah orang yang cuek dan santai. Kadang kehilangan arah dan suka nggak jelas tujuan hidupnya saking santai dan kebanyakan maunya *eh, apa sih nih... kok jadi nyebar aib*. Tapi di sela kecuekan itu ada bagian diri saya yang perfeksionis dan ngotot. Apalagi kalau hal-hal tersebut punya landasan yang benar dan nyata.

Salah satunya adalah: Menyusui.
Untuk anak pasti orangtua ingin mengusahakan yang terbaik, dan sayapun begitu. Saat Ihya lahir, saya tahu saya akan menyusui Ihya secara eksklusif selama enam bulan, melengkapinya dengan MPASI homemade tanpa gula garam hingga usia satu tahun, sama sekali tidak menggunakan susu formula, dan menyapihnya ketika usia dua tahun (weaning with love tentunya ya qaqa...). Dan saya melakukan semuanya.

Nggak hanya ASI Eksklusif, Ihya harus bisa menyusu langsung. Karena Ihya sempat mengalami bingung puting karena diberikan ASI Perah melalui dot saat ia dirawat di rumah sakit karena infeksi. Dan jangan tanya susahnya... (sampai sekarang saya masih parno memberikan susu pakai dot). Setelah mampu menyusu langsung Ihya juga nggak pernah pakai dot agi sampai dengan sekarang.

Dengan pengalaman-pengalaman itu saya yakin bisa menerapkannya dengan mudah ke anak saya yang ke dua, Sulha. Tambah PD karena kengototan saya juga mengantarkan saya VBAC.
Tapi kayaknya bukan hidup ya kalau mulus dan lancar terus...

Saat kunjungan pertama oleh suster dari RS ke rumah, ketahuanlah berat badan Sulha turun lebih banyak daripada angka normal 10% dari berat badan lahir. Memang Sulha masih belum lancar benar menyusu. Saya yang kemarin PD jaya itu mulai resah... Lalu saya diminta untuk memberikan ASI perah ekstra kepada Sulha setelah menyusu.
Setelah kunjungan ketiga berat badan Sulha sudah naik dengan sangat baik. ASI pun Alhamdulillah lancar. Namun, nggak lama setelah itu saya merasa Sulha semakin malas menyusu. Saya berspekulasi bahwa hal tersebut karena saya memberikannya ASI perah. Akhirnya saya hentikan pemberian ASI perah karena berat badannya sudah naik cukup signifikan.
Tapi sebenarnya Sulha memang belum bisa menyusu dengan baik. Kami berdua masih berusaha untuk menemukan posisi perlekatan yang pas. Karena asupan yang kurang, Sulha sering terbangun untuk menyusu. Ia pun sepertinya lelah karena energinya banyak tersita untuk menangis dan belajar menyusu karena memang saya "paksakan" (tiger mom juga kayaknya yah... Hehe).

ASI saya kemudian turun drastis. Mungkin karena saya frustasi dan lelah. Frustasi karena saya nggak paham apa lagi yang harus saya lakukan agar Sulha bisa menyusu dengan baik. Saya nonton banyak video di You Tube, menghubungi beberapa teman konselor laktasi, dan mencoba segala posisi. Lelah karena jam tidur saya jelas berkurang drastis (nggak usah susah menyusu juga punya anak bayi pasti begadang...). Ditambah lagi asupan makanan berkurang (tahu lah gimana repotnya saya dan suami ngurus rumah dan dua anak berdua saja di sini... suami juga sedang tersita energinya untuk tugas akhir semester). Di sini kan nggak ada cerita jajan atau beli makan di luar ya... jadilah kadang saya makan seadanya. Bahkan Ihya pun sering telat makan.

Selama seminggu saya bergulat dengan keadaan tersebut, saya tahan karena saya ngotot Sulha harus bisa menyusu langsung. Alhamdulillah usaha saya membuahkan hasil. Sulha sudah mulai bisa menyusu dan ASI pun mengalir deras kembali... sampai petugas Child & Family Healthcare datang dua hari kemudian dan ketahuanlah bahwa berat badan Sulha hanya 2.9 kg. Padahal berat lahirnya 3.46 kg. Menurutnya, itu sudah merupakan alarm bahwa Sulha harus diperiksa apakah ada kondisi medis yang menyebabkan berat badannya turun drastis. Singkatnya, ia merujuk Sulha kembali ke rumah sakit dan kemungkinan harus dirawat. Hati langsung menciut...

Kami langsung siap-siap dan kembali ke Woman & Children Hospital. Di sana Sulha dites darah dan urine secara berkala. Berat badan, detak jantung, dan suhu tubuhnya dimonitor secara berkala. Saat pertama kali Sulha diharuskan tes urine, saya sampai menahan tangis (yang ternyata nggak bisa ditahan) saat Sulha harus dimasukkan kateter. Ya Allah... jangankan bayi, saya aja merasakan nyeri... Tapi Alhamdulillah ada dua orang suster yang super sabar. Mereka tahu menggunakan kateter bisa traumatis bagi bayi dan keluarganya, sehingga mereka mengusahakan cara konvensional terlebih dahulu dan berhasil (hah... lega...). Saat dirawat juga sempat ingin dimasukkan kateter kembali untuk tes urine, tetapi sebelum sempat tindakan Sulha sudah pipis duluan... (gadis pintaaar...)

Malam itu Sulha terbangun terus karena masih agak susah menyusu dan ASI saya turun drastis. Selain itu Sulha yang biasa tidur di dekat saya harus tidur di box. Belum lagi harus dimonitor beberapa jam sekali.
Setelah cek ini itu Alhamdulillah nggak ada penyakit apapun. Sulha hanya kekurangan asupan karena masalah perlekatan dan ASI saya yang sedang menurun produksinya. Sungguh ini peringatan banget buat saya (dan mungkin ibu-ibu lainnya), semangat ASI boleh... tapi jangan lupa untuk monitor terus tanda-tanda kecukupan ASI. Dengan pengalaman punya anak sebelumnya saya pikir akan lebih mudah... tetapi ternyata enggak juga... ya harus tahu ilmunya. Termasuk kengototan saya bahwa Sulha harus menyusu langsung. Bagaimanapun kecukupan asupan lebih utama. Akan ada tahapan di mana massa otot sudah lebih cukup apabila bayi harus berlelah-lelah  menyusu atau belajar menyusu. Tapi jika masa itu belum datang resikonya bayi justru memakai asupan untuk menangis dan berusaha keras alih-alih untuk tumbuh.

Terakhir Sulha harus diberikan susu formula. Konselor laktasi yang membantu kami juga menyarankan demikian. Sedih? Gimana ya... saya menganggap susu formula adalah obat untuk Sulha yang saat itu sedang sakit. Jadi nggak sedih sih... Lebih menyesal karena nggak mendeteksi kecukupan gizinya sejak awal.

Tiap minggu kami diminta kontrol ke GP (General Practicioner). Saat dirawat bb Sulha 2.9, terakhir ditimbang minggu lalu sudah 3.7 :) Nyusu juga sudah mulai bisa. Tapi saya nggak mau ambil pusing. Kalau bisa Alhamdulillah... kalau lagi ngadat ya langsung kasih ASI perah atau susu formula. Akhirnya datang juga masa di mana keadaan sama sekali tidak ideal ya... kali aja suatu hari datang juga masa orang menilai saya berbeda karena ngasih susu formula. Haha.

Nyusunya pun banyak bangeeet... mudah-mudahan memang sedang mengejar ketertinggalannya kemarin.
Kalau berat badannya sudah dinyatakan aman Sulha bisa melepas susu formulanya. Alhamdulillah berat badannya naik dengan cukup baik. Mohon doanya buat Sulha ya...