Thursday, September 10, 2015

Setahun IRT

Bismillahirrahmanirrahiim…

Di sela PR-PR yang belum kelar, mari ah kita nge-blog… Tema yang akan tulis ini sebenarnya sudah direncanakan beberapa waktu yang lalu, tapi pinginnya dipasin dengan tanggal 6 September. Eh… tetep ya booo… nggak kunjung ditulis dan hiyaaa… baru ditulis sekarang.

Emang tentang apaan sih sampai harus dipas-pasin gitu?? 6 September tahun ini menandai satu tahun sudah saya tinggal di Adelaide. Tapi nggak mau ngebahas tentang Adelaidenya juga sih… Melainkan tentang pekerjaan baru yang saya jalani 1 tahun ini: Ibu Rumah Tangga (IRT).
Suatu hari suami saya nanya, “Kamu seneng nggak di rumah? (jadi IRT maksudnya)”. Saya jawab: “Seneng”. Udah… gitu aja. Hahaha.

Kenyataannya? Ya seneng laaah… Bertahun-tahun saya mengidamkan bisa mengurus anak-anak secara langsung. Kalau pernah baca posting saya yang ini, dulu saya memang masih dengan pilihan untuk menjadi Ibu Bekerja. Tapi semakin lama… anak semakin besar… dengan tantangan dunia yang semakin kompleks… duh… rasanya pingiiin banget secepatnya tinggal di rumah. Mau cerita dikit boleh ya… Harap dipahami, this decision made because it’s me, my life, and my family. Kalau orang lain bisa, mungkin saya aja yang kurang canggih jadi nggak sanggup kerja lagi.

Dulu saya berpikir bekerja bukan hanya soal cari uang (yang memang saat itu dibutuhkan), tapi juga mengamalkan ilmu. Terus terbayang lah itu pekerjaan-pekerjaan saya di kantor. Umm… kayaknya nggak juga deh. Sebagian iya sih… Tapi justru banyak hal saya pelajari sendiri dengan berguru kepada atasan dan rekan sekantor.

Terus saya berpikir juga bahwa bekerja adalah bagian dari tanggung jawab terhadap dan membahagiakan orangtua. Saya nggak pernah nanya sih orangtua saya lebih senang saya kerja atau nggak. Kadang Mamah menegaskan bahwa perempuan itu harus mandiri, punya uang sendiri. Tapi kadang beliau juga yang bilang “kasihan tuh Abang nggak sama Ibunya”. Tapi terlepas dari itu semua… Mau orangtua suka atau nggak suka, saya akan dimintai pertanggungjawaban atas anak-anak saya bukan atas orangtua saya. Kewajiban saya kepada orangtua adalah berbuat baik terhadap mereka, yang mana itu bisa luaaaaas banget.

***

Saya ingat betul, menjelang keberangkatan saya dan Ihya ke Adelaide, Ihya sedang dalam tahap sering tantrum parah-parahnya. Beberapa kali saya mengaum bagai singa saat marah saking frustasinya menghadapi Ihya. Beberapa kali saya dipukulnya. Nangis? Sering!! Terakhir bahkan saya butuh waktu berjam-jam sendiri setelah dipukul oleh Ihya. Ya Allah… sediiih banget rasanya… Saat itu benar-benar menjadi masa di mana saya mempertanyakan diri saya sendiri, “gue kerja buat apa sih?”. Saya berkeyakinan Ihya akan lebih baik di tangan saya langsung. Bukan ke-PD-an, tapi memang seharusnya begitu kan?

Beberapa minggu pertama di Adelaide saya kewalahan betul menghadapi Ihya. Hamil besar, anak tantrum di tempat umum, di tempat di mana Anda bisa dilaporkan ke polisi saat kasar sama anak. Tapi sejatinya, bukan cuma saya yang frustasi, Ihya mungkin lebih frustasi lagi. Aturan-aturan yang asing buat dia tiba-tiba diterapkan. Keinginannya yang biasa dengan mudah terpenuhi sekarang harus ditunda. Hal-hal yang biasanya dibantu orang lain sekarang mulai harus dilakukannya sendiri.

Namun, setelah beberapa minggu kami mulai melihat perubahan-perubahan positif. Berat memang buat Ihya, tapi karena kami punya cukup banyak waktu dengan Ihya, kami bisa terus memberikan penjelasan, dan terutama meyakinkan Ihya bahwa… Ibu tuh sayaaang banget sama kamu Nak, makanya Ibu dan Ayah melakukan ini semua.

Dan tak terasa bulan berganti sampai sekarang sudah setahun saya menjadi IRT. Biarpun senang, tetap lah ya… ada tantangannya. Yang pertama, capek. Banget. Hahaha. Kadang saya juga bingung kenapa bisa capek banget ya? Tapi mungkin ya kalau dibandingkan kerja di kantor aktivitas fisik di rumah jelas lebih banyak *nggak usah disebutin lah ya ngerjain apa…*. Ada juga temen yang nanya: “ngapain aja di rumah?” *langsung sensi*. Ya sudahlah… tak apa… dulu saya juga mikir kenapa sih Mamah kayaknya capek banget. Padahal kan enak bisa tidur siang *ampun Maaah…*. Pada kenyataannya saya juga hampir nggak pernah tidur siang tuh di rumah… Hahaha.

Yang kedua, rasa bosan. Kalau ini mah nggak usah diperpanjang karena saya memang tipe orang yang gampang bosan. Hehehe. Nggak usah di rumah, di kantor juga gitu kok. Kalau sudah bosan begini ya pinter-pinter nyari hiburan aja… Kalau buat saya yang hobi masak ini adalah saatnya bereksperimen dengan masakan baru, cari-cari resep, mantengin cara buatnya di Youtube, terus dibikin deh… Bisa juga dengan nonton film… atau sekedar jalan-jalan di sekitar rumah. Pada akhirnya memang tetap sambil digelendotin anak-anak sih… tapi nggak papa, sebentar lagi mereka juga gede. Hehe.

Yang ketiga, ujian sabar sampai ke ujung kepala. Hahaha. Misalnya niiih… tangan kiri gendong anak, tangan kanan megang masakan, terus anak yang satu lagi manggil-manggil ngajak main atau sekedar ngeliat hasil “prakaryanya”. Atau lagi nidurin anak yang sakit terus tiba-tiba anak yang satu lagi buka pintu sambil ngajak ngomong dengan suara yang keras, bangunlah anak satu lagi… dan terbayanglah pekerjaan yang lain tertunda. Dst… dst… Melayani anak kecil yang hampir nggak pernah diam buat saya cukup berat. Ia bisa nanya hal yang sama berkali-kali. Bisa menjelaskan sesuatu yang buat kita biasa aja dengan sangat antusias. Bisa lupa apa yang kita kasih tau hanya sekitar dua menit setelahnya.

Yang keempat, dalam waktu yang cukup lama setelah tinggal di rumah saya masih menganggap ini adalah sebuah “libur panjang”. Selain itu, saat di kantor waktu kerja saya ya jelas, membagi waktunya juga jelas, berbeda dengan di rumah di mana kitalah yang menentukan semuanya. Nggak lama kemudian saya melahirkan anak kedua dan harus beradaptasi dengan jadwal dedek yang masih berubah-ubah per beberapa minggu. Rasanya kok rumah nggak beres-beres ya? Alhamdulillah sih sekarang mulai ketemu ritmenya. Saya kasih bocoran sedikit ya, buat saya yang terpenting itu bukan rumah rapih, tetapi rumah diberesin. Hehe. Jadi kerjakanlah apa yang harus dikerjakan… jangan khawatir kembali berantakan. Bisa tunggu sampai besok kok ;)

Yang kelima, gimana ya tetap bermanfaat dari rumah? Kuncinya sih menurut saya di manajemen waktu dan jangan terlarut dengan keinginan untuk membuat  rumah rapih cemerlang. Hahaha. Ya… saya juga masih berjuang dengan yang satu ini kok. Saya coba mengisi waktu dengan kembali ngeblog, ngaji, masak buat acara pengajian, ngajarin ini itu ke anak, ngajak mereka ke luar sambil bergerak bebas. Buat saya mah itu bermanfaat juga. Justru harusnya anaklah prioritas kan? Setelah urusan rumah dan anak-anak bisa tertangani dengan baik perlahan-lahan tenaganya dibagi dengan masyarakat. Iya… saya tahu, beberapa orang udah melakukan itu dari dulu. Tapi buat saya yang terpenting skala prioritas dan kenali kemampuan diri sendiri. Salah satu sifat jelek saya adalah pingin mengerjakan semuanya. Pinginnya tuh membuktikan bahwa gue bisa ini dan itu. Membuktikan bahwa saya nggak lemah dan bisa mengerjakan apapun. Kenyataannya? Nggak mungkin. Sedikit tapi beres buat saya jauh lebih baik.

Yang keenam, dan paling bikin galau adalaaah… tak berpenghasilan. Dududu. Nggak ada yang salah loh dengan menjadi IRT dan nggak berpenghasilan… Awalnya saya merasa kok rasanya aneh ya dapet uang jajan dari suami… Tapi sebenarnya ini masalah pembagian peran aja kok… Walaupun tetep yah saya gatel. Hihi. Sempat juga mau melamar pekerjaan tetap di perkebunan, tapi kemudian saya menampar diri sendiri “dulu yang mau jadi IRT siapa woooy??!”. Akhirnya sekarang saya berjualan makanan, dan insya Allah pingin diteruskan sesampainya di Jakarta nanti, jadi sambil latihan lah… Di sini sih yang namanya mengerjakan “blue collar job” nggak masalah dan sudah jamak dilakukan. Pingin juga dong ah buat nambah modal usaha, tapi yang jelas nggak mengganggu waktu suami dan anak-anak. Yang saya ingat selalu adalah kami di sini karena suami kuliah, maka kuliahnya adalah prioritas utama. Tugas kami semua ya mendukung supaya itu bisa terselesaikan dengan baik.

Sejauh ini sih itu aja yang saya rasakan (Aja?? Banyak gitu woy!! Hehe). Setelah merasakan sebagai Ibu Bekerja dan IRT, nggak sedikitpun saya sesali keputusan ini. Nanti nggak tau sih… hahaha. Tapi bukankah semua hal pasti punya sisi menyenangkan dan tidak? Waktu saya saat ini bersama anak-anak saya syukuri banget. Apalagi kalau ingat sore-sore becanda guling-gulingan di kasur sama Ihya dan Sulha. Mendengar tawa renyah mereka berdua. Saya yakin banyaaaaak banget Ibu Bekerja yang amat sangat menginginkannya dan iri berat sama saya :)
.
Nah… dulu salah satu faktor saya bekerja adalah untuk menambah penghasilan keluarga. Tapi seiring berjalannya waktu saya melihat beberapa pengalaman orang lain bahwa rezeki itu benar-benar kuasa Allah. Hanya DIA yang berhak menghitungnya. Alhamdulillah… walaupun saya nggak bekerja, kami nggak kekurangan suatu apapun, padahal anak bertambah :)

Sekarang fokus saya adalah bagaimana menjalani peran ini sebaik-baiknya. Menjadi manajer rumah tangga yang baik. Guru dan tauladan yang baik bagi anak-anak sampai mereka menjadi mandiri. Istri yang diridhoi suami. Dan tentu saja pengusaha kue yang sukses ya qaqaaaaa *banyak maunya ih…*

Dan kalau ada yang nanya, “nanti pas pulang ke Jakarta ada rencana kerja kantoran lagi nggak?”, jawabnya udah enteng: “nggak”.

Wednesday, September 2, 2015

Mt. Buller Roadtrip

Bismillahirrahmanirrahiim…

Setelah hampir sebulan berlalu, akhirnya cerita tentang roadtrip Mt. Buller terbit juga!! Umm… sebenarnya udah sempat nulis lumayan panjang dan rencananya akan dibuat beberapa tulisan, tapi… siapa lah aku ini… kayak bakal ada yang baca ajah. Hihi. Jadi, mumpung mood nulis lagi bagus dan anak-anak tidur, mari kita nge-blog sambil ditemani secangkir kopi karamel.

Penting banget yah roadtrip ini buat diceritain?? Penting banget!!
Pertama, karena ini adalah perjalanan darat terpanjang pertama keluarga Hisyami Adib. Kedua, karena perjalanan ini mempertaruhkan banyak hal *tsaaah* Terutama kenyamanan selama perjalanan. Masing-masing punya karakter tersendiri. Ada yang sangat hati-hati dan maunya semua sesuai rencana... Ada yang spontanitasnya suka kelewatan... Ada yang energinya besar dan gampang bosan... Ada juga yang  masih bayi. Tahu kan semanis-manisnya bayi tetep suka-suka dia dong... mau pup kek, mau nangis kek, mau nyusu kek…

Cerita sedikit ya... Dari awal tahu kalau Bunny (ini panggilan sayang buat suami saya :)) jadi penerima beasiswa AAS, yang saya tanya adalah: di Australia ada salju nggak? Jawabnya: Ada. Dan diidam-idamlah itu yang namanya salju. Sampai suatu ketika saya mikir… Abang bakal seneng nggak ya main salju? Karena tahu dong… anak segitu kalau udah cranky nggak peduli bapak ibunya keluar duit berapa… Hahaha. Nyesek nggak siiih… Akhirnya dari sana rencana persaljuan maju mundur. Tapi si Ibu galau dan pingiiin banget ngerasain salju beneran. Long story short, akhirnya diputuskanlah kami berangkat ke Mt. Buller. Naik mobil. Pertama, karena lebih ekonomis. Kedua, karena passportnya Sulha belum jadi. Daripada tiba-tiba terhalang di bandara dan gigit jari, diputuskanlah kami berangkat naik mobil. Ketiga, akan lebih mudah berhenti dan istirahat kalau dua anak tiba-tiba bosan di jalan.

Tadinya Bunny menolak mentah-mentah ide ini. Karena pasti perjalanan akan sangat lama dan melelahkan. Google Maps boleh bilang perjalanan hanya makan waktu 8 jam. Tapi bawa bayi dan balita? Mana mungkiiin… Total kami menghabiskan 14 jam saat berangkat dan lebih lama lagi saat pulang.
Rencana awal yang saya ajukan, setelah dari Mt. Buller kami akan berkeliling Melbourne dab kemudian pulang lewat Great Ocean Road (GOR). Tapi sepertinya nggak memungkinkan karena melewati GOR sendiri sudah makan waktu cukup lama. Bisa-bisa kami sampai di Twelve Apostles saat hari sudah gelap. Karena kami lebih tertarik dengan objek di sepanjang GOR, akhirnya jalan-jalan Melbourne dicoret dari rencana.

Alhamdulillah selama perjalanan terbilang cukup nyaman dan menyenangkan, yang nggak enak-nggak enak pun buat kami jadi pengalaman tersendiri yang tak terlupakan.

Pemandangan sepanjang jalan buat saya indaaah banget. Dari mulai padang rumput, samudera, sampai hutan. Hutan? Yep. Entah dapat info dari mana kami diarahkan Waze lewat Cape Otway Rain Forest. Padahal Google Maps menyarankan jalan yang berbeda. Sempet bete sih karena saya pegang Gmaps. Bayangkanlah seorang pengemudi pemula masuk hutan yang jalanannya sempit dan basah. Langit yang tadinya terang tiba-tiba jadi gelap terhalang pohon-pohon tinggi. Alhamdulillah masih jalan di pinggir tebing, bukan jurang. Tapi teteup jantungan karena tiba-tiba terhalang gundukan tanah longsor. Sepanjang jalan ada peringatan bahwa jalan yang sempit itu banyak dilalui truk kayu, untungnya nggak ada ketemu. Begitu keluar hutan rasanya legaaa banget.

Beberapa kali mobil kami sedikit goyang karena terpaan angin, maklum... mobil kecil ditambah lagi jalanan cukup lengang dan di kanan kiri ada hamparan rumput terbuka.

Gimana Abang selama di perjalanan? Amat sangat bisa ditebak dia akan bete karena energinya yang besar itu nggak tersalurkan. Mulai dari minta pulang di tengah jalan... membuat suara-suara aneh... dan sempat juga dia menggumam sepanjang jalan: “I’m so so so so so tired” yang diucapkan dengan aksen Australia (yang membuat kalimat itu 5 kali lebih nyebelin). Tapi Alhamdulillah saat perjalanan pulang Abang jauuuh lebih kooperatif. Mungkin karena kami jalan dengan lebih santai dan berhenti di beberapa objek. Mungkin juga karena Abang bahagia banget bisa main salju seharian (umm… nggak seharian sih, tapi cukup puas lah!!). Rasanya lega banget melihat Abang senang main di Mt. Buller. Dia cuma merengek saat diajak pulang. Saya sendiri puasss banget bisa menikmati hamparan salju. Alhamdulillah cuaca cukup cerah, anak-anak juga sehat dan nggak ada keluhan berarti. Momen paling indah buat saya adalah saat naik chairlift. Salju di mana-mana dan sunyi sampai hampir nggak terdengar suara apapun, kayaknya untuk beberapa saat saya merasa bener-bener sendiri... walaupun kemudian sadar sedang menggendong Sulha *buyar... buyar...*

Pengalaman tak terlupakan lainnya adalah saat kami terpaksa masuk Melbourne CDB. Maaak... lalu lintasnya mirip banget sama Jakarta, tapi tentunya dengan tampilan yang lebih cakep dan lebih teratur. Usut punya usut beberapa teman yang tinggal di Clayton (kota kecil dekat Melbourne) bahkan nggak berani bawa mobil ke CDB. Kami sempat beberapa kali teriak terkaget-kaget dan salah mengikuti petunjuk peta. Macetnyapun luar biasa (siapa suruh masuk CDB malam Sabtu pas ada pertandingan di Ettihad Stadium??!). Pengendaranya pun lebih metal dibandingkan Adelaide.

Sempat juga melewatkan kesempatan foto bareng Neil DeGrasse Tyson. Uhuhu... nyeselnya pake banget.

Oia... karena sudah kemalaman akhirnya kami menginap satu malam lagi di Warnambool. Besok paginya karena punya waktu lumayan akhirnya disempatkan foto (doang) di Blue Lake Mt Gambier.

Seneng? Banget!! Alhamdulillah dikasih kesempatan untuk jalan-jalan sekeluarga seperti ini. Dan ternyata ada yang ketagihan :) *lirik Bunny*

Terus foto mana fotooo??! Silahkan menikmati. Salam!!

Pink Lake.
Keliatan nggak warna pink-nya?





Mt. Buller










Lighthouse











Twelve Apostles:










Mount Gambier