Bismillahirrahmanirrahiim…
Karena saya sedang Grey’s
Anatomy Addict, jadi tiba-tiba pingin banget menulis tentang dokter. Eh, boong
deh… Saya memang seneng banget sama serial TV Grey’s Anatomy (kecuali untuk
adegan se*s yang sangat royal – bo… lagi seneng dikit aja kenapa mesti ciuman
napsu gitu sih… - dan banyaknya drama yang melibatkan LGBT), tapi bukan itu
alasan saya. Pemicu utamanya adalah dokter yang saya kunjungi semalam untuk
mengetahui masalah mata yang dialami Ihya.
Kita sebut saja beliau
dr. S. dr. S ini cukup baik, tapi jelas berbeda dengan dokter yang biasa kami
kunjungi. Sayapun sudah menyiapkan diri bahwa nggak akan terjadi banyak
diskusi. Karakter dokter memang macam-macam, sah-sah aja, tapi kadang bisa jadi
hal yang vital. Karena itu saya ingin berbagi tentang dokter-dokter yang pernah
saya (kami) kunjungi.
Pertama, dr. Ani
Nama lengkapnya Triani
Ismelia. Beliau sebenarnya dokter kandungan saya yang kedua, tapi berhubung
saya hanya mengunjungi dokter pertama sebanyak satu kali, saya nggak bisa
cerita banyak. Nama dokter pertama tersebut dr. Valeria (kalau nggak salah).
Orangnya cukup baik dan ramah. Santai, nggak banyak pantangan, dan nggak bikin
ibu hamil anak pertama seperti saya parnoan. Oke, balik ke dr. Ani. Yang paling
saya suka dari dr. Ani ini adalah… cantik dan modis!! Hehe. Orangnya juga ramah
dan perhatian. Yang penting harus siap dengan segambreng pertanyaan supaya sesi
konsultasinya nggak sia-sia. Hehe. Nggak banyak pantangan dan nggak banyak
nakutin nanti begini nanti begitu. Pada akhirnya saya harus berakhir dengan
C-Sectio, tapi karena indikasi medisnya cukup jelas, ya sudahlah.
Kedua, dr. U**nar
Bisa kelihatan yah…
Namanya aja udah saya samarkan. Pengalaman saya dengan dokter ini memang bikin
gondog. Sebagai dokter (yang dibayar lho), menurut saya beliau mestinya
memberikan saran-saran profesional yang tepat. Pertama, Ihya tidak disarankan
untuk imunisasi 0 bulan. Kedua, Ihya sempat ditawarkan susu formula (okay, ini
kebijakan RS ya, saya sebut saja RS JMC, supaya ortu juga jadi lebih
hati-hati). Ketiga, dr. U ini menyarankan pemberian antibiotik tanpa indikasi
infeksi bakteri yang jelas. Kalaupun ada indikasi yang jelas, YANG JELAS dia
tidak mengkomunikasikannya dengan baik kepada orangtua. Setelah tahu bahayanya
memberikan antibiotik tanpa indikasi infeksi bakteri yang jelas, rasanya saya
keseeel… banget. Not Recommended.
Ketiga, dr. Windy
dr. Windy ini kalau nggak
salah dokter umum, beliau praktek di Markas Sehat. Usianya sih kayaknya masih
muda. Pro imunisasi dan ASI. Dia sempat mengajari saya untuk latch-on yang
benar dan membantu saya untuk melihat bon RS satu per satu untuk memastikan
Ihya sudah diimunisasi atau belum. Hari itu adalah hari di mana kebutuhan saya
akan konsultasi dengan dokter mencapai standar yang baru. 30 menit (bahkan
lebih ya kayaknya) di ruangan, berdiskusi (sampai saya bingung mau nanya apa
lagi), dan yang paling penting pro ASI, pro Imunisasi, dan RUM.
Keempat, dr. Ian
Kalau yang ini, udah lah
ya… nggak usah diceritain lagi. She’s even better. Markas punya banyak pasien.
Walaupun mereka membatasi jumlah pasien dalam sehari, tapi tetap saja ada rasa
nggak enak kalau terlalu lama. Nah, kalau dr. Ian, berhubung beliau praktek di
rumah dan pasiennya juga tidak terlalu banyak, kami bisa lamaaa… banget di
sana. Bisa 1 – 1,5 jam. Haha. Bahkan Ihya suka dapat bonus-bonus sekaligus bisa
main sepuasnya dengan anak-anaknya dr. Ian.
Kelima, dr… Lupa
Beliau adalah dokter di
sebuah klinik 24 jam. Timbang BB, lihat Ihya sebentar, langsung ambil buku resep. Kalau saya nggak
nanya, mungkin kami hanya di ruangan selama 5 menit. Saya tanya-tanya pun ia
terlihat tidak sabar dan sudah nggak melihat wajah saya. Fokus entah menulis
resep apa. Saya lupa, kebanyak dokter memang seperti ini. Tapi sekian lama
dengan dokter di Markas dan dr. Ian, ketemu dokter yang macam ini memang bikin
mulut menganga. Tapi ya sudahlah, namanya juga dokter klinik 24 jam. Saya nggak
meremehkan, tapi pendapat saya ya akan setara dengan pelayanannya.
Keenam, dr. Apin.
Hmm… ini mah nggak usah
ditanya yah… Pertama, beliau dokter Markas. Kedua, beliau dokter spesialis
anak. Ketiga, beliau nulis buku. Saya sampe nggak PD buat tanya-tanya, hehe.
Ramaaah banget. He’s great with kids J.
Terakhir, tarif konsultasinya mahal (banget), lebih mahal daripada SPA di KMC.
Ketujuh, dr… Lupa
Beliau perempuan dan
praktek di KMC. Saya hampir percaya bahwa semua dokter KMC akan memberikan
pelayanan yang terbaik. Saya nggak bisa cerita banyak karena hanya satu kali
bertemu beliau dan jadi pasien terakhir pula. Secara keseluruhan baik-baik
saja, tapi dari segi waktu konsultasi memang jauh banget dibandingkan dokter
Ian atau Markas.
Kedelapan, dr. Farisda
Sebenarnya dr. Farisda
ini termasuk dokter awal yang saya kunjungi. Pertama bertemu beliau saat Ihya
imunisasi di Markas. Standarnya dokter di Markas lah ya. Sabar, oke banget
dalam berhubungan dengan anak. Dan terakhir, beliau kasih nomor HP. Hal
tersebut hanya terjadi sekali seumur hidup saya. Dokter yang kasih nomor hape
buat saya keren, karena bersedia “diganggu” tanpa melulu memikirkan tarif
konsultasi. Walaupun akhirnya harus ketemu juga sih di KMC, tapi amat sangat
menenangkan :)
Kesembilan, dr… lupa
namanya.
Beliau ini dokter
spesialis mata yang saya kunjungi karena Ihya sering banget mengalami mata
merah dan gatal. Sudah tuaaaaa banget. Standar dokter yang cek-cek bentar terus
tulis resep. Berhubung sudah tua, saya juga sungkan buat “cerewet” tanya ini
itu. Tapi ada satu hal yang buat saya lemes dan kecewa. Ternyata obat tetes
yang dikasi isinya antibiotik. Ihya kan “cuma” alergi dok… :(
Kesepuluh, dr. S
Beliau ini juga dokter
spesialis mata. Awalnya saya nggak banyak ambil pusing karena saya yakin Ihya
alergi. Tapi berhubung Bunda kekeuh banget minta Ihya dibawa ke sana, saya
datangi juga lah beliau. Lagipula saya habis dapat informasi mengenai penyakit
mata yang gejalanya mirip dengan Ihya. Tapi dari awal saya sudah menyiapkan
diri. Di ruanganpun saya nggak banyak nanya. Ya… mungkin kami di ruangannya
kurang dari 5 menit, dan diminta untuk balik 1 minggu lagi. Saya berniat untuk
balik kembali minggu depan. Tidak ada salahnya dicoba lah…
Kesimpulan yang saya
dapat dari semua dokter yang pernah saya kunjungi: usia dan pengalaman memang
sesuatu yang berharga. Tapi saat berhadapan dengan pasien (yang pastinya sedang
sakit), sikap mengedepankan komunikasi penting banget. Jangan salahkan kalau
banyak yang protes ada dokter komersil, karena memang banyak. Dokter menurut
saya bukan bertanggung jawab untuk membuat pasien sembuh, tapi memberikan
diagnosa yang tepat untuk menentukan terapi yang tepat. Jangan lupa juga, pasien
itu awam dan butuh informasi. Edukasi mereka untuk sabar dan menjaga kesehatan.
Sabar di sini berarti tidak memaksakan hilangnya gejala yang justru membuat
penyakit bisa menjadi semakin parah walaupun gejalanya hilang. Maka saya sangat
mengapresiasi dokter-dokter yang bersedia melakukannya. Semoga Allah membalas
dengan kebaikan pula J.
Oiya, selain dokter-dokter di atas sebenarnya ada beberapa lagi dokter yang
pernah saya kunjungi saat sedang mengurus impaksi yang saya alami. Kebanyakan
baik hati. Tapi ada 1 dokter di RSUD Budhi Asih, namanya kalau nggak salah dr.
N*na. Alih-alih merujuk saya ke RS yang lebih baik (karena Budhi Asih tidak
memiliki fasilitas dan dokter yang memadai), beliau justru merujuk saya ke
kliniknya sendiri untuk dioperasi oleh suaminya yang spesialis bedah mulut.
Beliau juga “menakuti” saya bahhwa biaya yang ditanggung Askes hanya sekitar
300 ribu saja. Saya sempat mengunjungi kliniknya saking desperado dengan alur
Askes yang panjang. Bisa ditebak, kliniknya adalah klinik di ruko yang biayanya
aduhai… Duh, saya miris sekali, apa sebegitunya ia butuh uang? Kalau saya punya
banyak uang, buat apa repot-repot mengurus Askes. Setelah saya ke Budhi Asih
dan bertemu dengan dokter yang lain, Alhamdulillah saya bisa dirujuk ke RSCM.
*Semoga ada salah satu
anak saya yang jadi dokter yang kompeten dan mengedepankan komunikasi dengan
pasien*