Bismillahirrahmanirrahiim...
Kata bijak di atas konon asalnya
dari Cina, ya... paling nggak menurut Papah begitulah prinsip kolega-koleganya
yang memang keturunan Tionghoa.
Kayaknya mudah ya... hitung saja
untung yang Anda dapat dan tutup mata dan telinga atas untung yang didapat
orang lain. Saya memaknainya secara luas sebagai: syukurilah apa yang menjadi
milikmu, apa yang kau punya, dan jangan lihat kenikmatan orang lain seolah kamu
berhak atasnya.
Kadang kalimat di atas jadi
becandaan antara saya dan suami kalau lihat teman atau rekan yang sudah punya
ini itu. Tapi ternyata saya tidak pernah benar-benar meresapinya sampai dengan
pagi ini.
Ada suatu kejadian yang membuat
saya merasa iri akan sesuatu yang dimiliki orang lain. Kepingin apa yang
dipunya orang? Sering!! Tapi iri? Saya bukan orang suci, tapi saya boleh bilang
hal seperti itu jarang saya rasakan. Kalaupun ada biasanya saya bukan iri
dengan harta benda. Namun saat itu berbeda.
Sampai di satu titik saya merasa
iri dan marah. Kanapa dia dapat dan saya nggak? Kemudian saya mulai
berimajinasi bahwa apa yang ia dapat haruslah saya dapat juga. Saya banyak
mengalah dan saya selalu nrimo,
sekarang saatnya. Sini kasih ke gue!! *gaya ala tokoh antagonis di sinetron
sambil nadah*.
Setelah titik itu... ada lagi
titik lain, saya sedih, kesal, kecewa, dan bahkan tidak mood untuk melakukan apapun hampir selama dua minggu. Ya, sebegitu
dalamnya. Bahkan itu semua mempengaruhi tingkat kesabaran saya dalam menangani
Abang.
Alhamdulillah suami saya
menyadari bahwa ada yang berubah dalam diri saya. Katanya saya terlihat stress
akhir-akhir ini dan mengajak saya nonton (hemat) – kalo nggak mana gue mau,
ntar yang ada tambah stress. Hehe- hari Senin kemarin. Kami janjian di mall
layaknya orang pacaran. Anak titip dulu lah ke ART. Setelah itu kami ngobrol
santai ke sana ke mari sampai kemudian saya menceritakan semua yang saya
rasakan. I cried (again).
Kami berkesimpulan sikap yang
paling sehat untuk diambil saat ini adalah jujur pada diri sendiri. Saya besar
(secara sadar, tanpa didoktrin oleh orang tua) untuk menjadi anak yang tidak
banyak menuntut, nrimo, dan (sok)
kuat. Ada baiknya, tetapi sama sekali nggak sehat saat itu semua dipendam dan
jadi penyakit hati yang bikin kotor.
Tapi saat shalat dhuha pagi ini
saya kembali teringat, “jangan itung untung orang”. Saya kembali menangis...
hati saya masih sakit dan perasaan iri itu masih ada. Tapi pelan-pelan saya
mencoba menghitung “untung” yang saya punya. Wajah cantik dan rupawan
(huekk!!), otak cerdas dan pintar (huekk lagi!!), anak yang sehat dan cerdas
(walaupun sekarang lagi sakit), suami yang ganteng dan pengertian (dulu banyak
yang naksir loh!!), pekerjaan, bisa berbagi rejeki dengan orang lain, harta
benda yang walaupun nggak seberapa tapi kami kumpulkan sendiri, nggak kena
kabut asap kayak di Riau, punya kesempatan ke luar negeri menemani suami, dll...
dll. Kalau saya hitung semua mungkin dhuha 12 rakaat juga nggak cukup.
Jujur dan melepaskan emosi memang
baik, tapi saya pikir bersyukur tetap lebih baik. Kadang saat kita jujur orang
lain harus tersakiti. Namun seandainya saya bisa ikhlas maka tak perlu ada yang
tersakiti. Karena semestinya saya tahu, rejeki yang sudah Allah siapkan buat
saya tidak akan lari ke manapun. Saya hanya perlu mencarinya. Bahkan kadang
saya tidak perlu menginginkannya.
Maka doa saya pagi ini jelas
sudah, jadikanlah diri ini penuh syukur dan janganlah aku kufur dari nikmatMu.
Salam.