Cerita WWL
sebelumnya sudah pernah ditulis, tapi tetep aja saya gatel untuk kalau nggak cerita secara
detail kisahnya *caelah...*.
Bukan
gimana-gimana... WWL ini isu penting buat keluarga yang sedang melewati proses
yang sama, jadi semoga cerita ini bermanfaat.
-Edukasi Bocah
Sejak Dini-
Dini dalam
definisi saya adalah satu minggu sebelum ulang tahun Ihya yang ke-2 :p. Itu
juga setelah disadarkan orang-orang kalau Ihya sudah gede, udah nggak boleh
nyusu, takut manja, and the bla and the bla...
Intinya,
rajin-rajin kasih tau anak kalau ia sudah besar. Sebentar lagi sudah tidak
nenen lagi, karena anak besar minumnya tidak lagi lewat Ibu, tapi pakai gelas.
Dari pengalaman
saya, hindari kata-kata mengejek seperti: ”Ih, masih nenen, malu woooo....”.
Umm, Ihya nggak malu sama sekali tuh. Atau mungkin justru rasa malunya
termanifestasi dalam bentuk menyusu lebih sering.
Eh, I did that.
Tapi ya kemudian, saya berpikir ada cara yang lebih positif. Yakinlah anak kita
pintar dan pengertian. Selain itu, nggak ada yang suka diminta beradaptasi dalam waktu singkat.
-Tanpa
Manipulasi-
Sudahlah,
lupakan cara dengan membuat seolah nenen ibu menjadi pahit atau berdarah. Belum
tentu juga si bocah sadar kalau ia dibohongi, tapi tetap aja judulnya begitu.
Saya cuma berpikir bahwa proses WWL ini adalah bentuk pendidikan juga. Sebagai
guru, mari beri contoh yang baik.
Saya? Wooouw...
pernah dong. Hehe. Saking panik mau prosesnya cepet, saya sempat pura-pura
menangis tiap Ihya nenen. Walaupun kata-katanya diolah sedemikian rupa supaya
jatuhnya nggak boong, tapi rasanya tetap saja nggak sreg di hati. Cuma bertahan
2 hari saja. Hehe.
-Ibu juga Harus
Ikhlas-
Percaya atau
nggak, ini sulit. Saya, sok tegar pada awalnya. Dan kemudian nangis bombay sambil
meluk suami bahwa saya sebenarnya belum rela untuk melepas masa-masa indah ini.
Subhanallah, setelah itu rasanya ploooong banget. Saya juga berusaha berpikir
jernih bahwa nggak baik juga kalau Ihya tinggal di suatu tahap terlalu lama.
-Tanpa “Kekerasan”-
Halah, judulnya
serem yak... Padahal maksud saya di sini, hindari lah proses di mana anak
menangis jejeritan mengiba akan nenennya. Emang Ihya nggak pake nangis gitu? Ya
pake laaaaah... Kebetulan masa di mana itu adalah masa saat saya sejenak
berpaling dari WWL. Tapi, yah... saya gitu loh... Mana tega... Akhirnya saya
kasih lagi deh...
Tapi, kemudian
saya berkesimpulan, bukan berarti Ibu harus memberikan nen saat anak menangis,
melainkan dengan memberikan pengalihan yang tepat dan lagi-lagi, tanpa
manipulasi. Misalanya, kalo trik dari saya:
“Eh... ini buku
Abang yang baru ya? Kita baca yuk...”
“Bang, ada
cicak kecil lagi lari tuh...” (beneran ada
cicaknya).
“Nenen
seolah-olah aja ya Bang...” (maksudnya nenen pura-pura, cuma ditempel doang)
“Nenen Ayah aja
Bang” (untung ayahnya mau bersedia jadi pelipur lara sementara, walaupun
kegelian setengah mati).
“Minum air
putih aja ya Bang?”.
Kalau masih
nangis gero-gero juga gimana? Tergantung... ikuti
naluri Ibunya saja... Kalau saya sih lihat situasi. Di awal-awal penyapihan,
menurut saya kasih saja. Tapi kalau penyapihan sudah mulai menunjukkan hasil sebaiknya,
kasih juga *HAHA*. Jujur, saya nggak ngalamin yang begini. Kalaupun nangis,
ya...masih nangis biasa dan mudah dialihkan.
-Menyangkut
Fisik lainnya...-
Sebelum tidur, saya
kasih makan sebanyak-banyaknya semau dia. Harapannya sih, dia bakal tidur kepulesan karena kekenyangan, hehe. Kadang
berhasil kadang nggak.
-Doa-
Kan katanya doa
itu mustajab ya? Eh...kita Ibu lho sekarang... Saya simpen ”trik” ini rapat-rapat karena takut riya’, serius.. Tapi, sepertinya
sekarang saya buka aja deh... Hehe. Setiap ada kesempatan waktu-waktu mustajab
untuk berdoa, mari doakan anak kita dengan doa yang baik, termasuk bisa disapih
dengan mudah. Bahkan... menurut saya obat GTM yang paling manjur adalah doa,
hehe.
-Peran Ayah-
Penting banget!
Terutama untuk...
Ngajak main
sebagai pengalih perhatian
Sebagai tempat
nenen boongan (ini sekaligus menghibur ya...)
Sebagai
penyeimbang ketegasan untuk saya yang menye-menye soal beginian.
Ada yang
berpendapat peran Ayah di malam hari saat anak terbangun dan mau menyusu juga
penting. Tapi saya agak berbeda, saya memilih untuk meladeni Ihya sendiri,
kebetulan cara ini cocok. Saya hanya ingin Ihya berpikir bahwa saya tetap
memperhatikannya walaupun ia sudah nggak nen lagi.
Terakhir,
-Every kid is special-
JANGAN pernah terpengaruh dengan proses
yang dijalani orang lain jika anda
yakin sudah menjalaninya dengan sebaik mungkin. Maka sebelumnya lengkapi diri
kita dengan ilmu tentang apa yang terbaik.
Misalnya nih, Bunda (mertua) sudah “mendesak” saya
untuk menyapih Ihya cepat-cepat dengan cara mengoleskan sesuatu yang pahit. Eh,
eik nggak nyalahin Bunda kok, karena mungkin pada masanya cara demikian lah
yang terbaik. Berikan pengertian secara halus. Atau jawab saja dengan senyum
dan anggukan.
Misalnya juga, tetangga sebelah sudah
pesta-pora karena anaknya bisa begini dan begitu. Ya sudah… Setiap perkembangan
anak berbeda kok. Bersyukur saja baha si bocah lebih sulit disapih karena
begitu dekatnya ia dengan sang Ibu :)
Semakin
tertekan, saya yakin akan semakin sulit. Selain menjalaninya jadi penuh beban,
takutnya niat juga jadi melenceng.
Alhamdulillah,
akhirnya ketulis juga semua tentang WWL yang ada di kepala. Doakan ya, semoga
saya, Ihya, dan Ayah bisa melewati proses WWL ini dengan baik dan dengan hasil
yang baik pula.
Selamat ber-WWL
Tambahan: Hari ini usia Ihya sudah menjelang 3 tahun, artinya proses WWL sudah berlalu hampir satu tahun. Tapi anak sulung saya itu masiiih aja suka curi-curi dan cari-cari kesempatan untuk pegang ataupun cium nen saya dengan berbagai modus. Kalau saya sedang merasa biasa aja saya nggak terlalu permasalahkan. Tapi kalau sudah berlebihan dan tidak nyaman saya akan larang. Anaknya pun cuma ketawa jahil. Intinyaaa... sampai sekarang Ihya dan Saya masih berproses, don't rush your weaning.