Monday, August 27, 2012

10 Hari di Rumah



Kali ini saya cinta banget dah sama PT XXX. Bayangkan… sementara PNS sudah harus masuk dari H +4 Lebaran, saya masih leha-leha sampai H+7!! Eh, ntar dulu… siapa bilang leha-leha? *barusan, kamu sendiri yang bilang leha-leha, Dahlia…* Intinya, berasa amat sangat seperti Ibu Rumah Tangga (IRT) selama 15 hari kemarin. Belanja, beberes, cuci, seterika, bikin kue, ngurus anak.

Nah, yang disebut terakhir adalah yang paling menantang!! Kerja 5 hari dalam seminggu, walaupun dengan keistimewaan berangkat siang, pulang siang, dan pulang cepat, tetap saja membuat frekuensi pertemuan saya dan Ihya jauh dari IRT atau IBdR (atawa Ibu Bekerja dari Rumah). Di rumah selama sekitar dua minggu tidak bisa dipungkiri membuat saya… kaget.

Pada saat itu saya benar-benar sadar dan ngeh, bahwa Ihya sekarang  sudah hampir 19 bulan. Sebentar lagi akan memasuk masa-masa “challenging two” dan pemanasannya sudah dimulai dari sekarang.
Ihya bukan lagi sudah bisa berjalan, tetapi sudah bisa berlari (tepatnya, Ihya lebih senang berlari daripada berjalan, apalagi kalau Ibu sudah kasih aba-aba “pelari kelas duniaaa!!!”).
Sudah bisa naik tangga.
Sudah bisa bilang “NGGAK” (plus gerakan tangan dan mulut menyunyu setelahnya).
Sudah bisa menolak makanan sambil bilang “kenyang”.
Sudah kenal menangis keras dan meraung.
(bahkan) Sudah bisa memukul.
Sudah bisa bermanja dengan Ibu (pokoknya kalau ada Ibu maunya sama Ibu!! Jatuh atau sakit maunya ditiup Ibu, disuapin sama Ibu, minum sama Ibu). Kalau nggak keturutan, bisa ditebak reaksinya kan?

Kalau kata suami, saya mulai terlihat lebih emosional dan sensian. Baik sama Ihya maupun sama suami *Astaghfirullah*. Saya harus akui, semua ini susah. Saya harus nyetok sabar lebih banyak lagi. Beberapa kali saya melotot, sentil, dan berkata dengan suara keras kepada Ihya. Saya dan suami bersepaham hal-hal tersebut boleh dilakukan pada waktu-waktu tertentu. Terutama untuk sesuatu yang benar-benar terlarang seperti menyakiti diri sendiri atau orang lain. Namun, saya sadar betul saya bukan dalam kondisi tenang saat melakukannya.

Saya terkenang video Ibu yang memukuli anaknya. Astaghfirullah… saya harus istighfar banyak-banyak. Setelah badai berlalu, saya baru menyadari bahwa tidak ada pendidikan saat orangtua melakukannya dengan emosi di ubun-ubun atau tempramen tinggi. Tidak ada.

Alhamdulillah, saya terhitung masih banyak sabarnya, hehe. Cara paling ampuh adalah tarik napas, minta bantuan orang lain saat sudah benar-benar tak sanggup, atau cara terakhir ya… tutup kuping pakai mata. Hehe. *bingung kan…*

Eh, tapi saya mendapati satu hal yang menyentuh di hari Sabtu kemarin… Ihya nggak mau tidur. Diajak tidur nangis. Akhirnya kami diamkan sampai Ihya tenang. Namun, biasa lah… saya nggak tegaan… Tapi saya tahu, bicara sama Ihya saat ini tak ada gunanya. Saya usap-usap kepalanya. Suami menyusul dengan meniup kepala Ihya sehingga terasa lebih adem. Alhamdulillah, tangisnya berhenti. Ihya mungkin tak bisa memahami kata-kata dengan baik saat meraung seperti itu, tetapi Ihya pasti bisa memahami perasaan dan bahasa tubuh kami… Usapan kami berbicara lebih banyak…

Laluuu… apakah kemudian niat saya menjadi IRT atau IBdR surut. Nggak, sama sekali nggak. Ini hanya masalah adaptasi. Kami sama-sama beradaptasi. Punya anak memang repot, hehe. Tapi sungguh saya tidak mampu membayangkan menghapus Ihya dari hidup saya. Tidak sanggup juga membayangkan bagaimana rasanya. Ihya adalah dunia sekaligus akhirat kami. Penyejuk mata dan hati...

No comments:

Post a Comment