Bulan ini, tepatnya di tanggal 3 Oktober lalu, saya resmi
berstatus ISTRI selama 4 tahun. Yap, pernikahan kami (tidak terasa) sudah
berjalan selama 4 tahun. Ya iya lah nggak terasa, nggak pernah dipikirin banget
juga udah jalan berapa lama. Yang penting selamanya, gitu aja deh… Terus
tiba-tiba, gara-gara postingan sebelumnya juga, jadi kepingin menulis sesuatu
tentang perjalanan kami selama 4 tahun ini.
Oh iya, ulang tahun pernikahan ngapain aja? Saya ngasih surat,
kado, dan kue (beli di luar dan rasanya nggak enak pulak). Beliau? Sudah bisa
ditebak nggak akan beli dan ngerayain apa-apa. Dan saya sama sekali nggak
masalah dengan hal ini. Eh, sebenernya masih takut papasan pas beli kado di
mall (berarti masih ngarep Ayah beli kado ya?). Terus kemudian berpikir… nggak
mungkin ah… Dan benar saja, begitulah adanya T_T. Lelaki satu ini kalo udah
dateng romantisnya bakal ngebayar LUNAS ketidakromantisannya. Jadi, yasudah…
tunggu aja sampe siklus berulang… siapa tahu dapet rumah dan mobil. Gyahahaha.
Sebelum masuk ke angka 4 tahun, berhubung perempuan-perempuan
di keluarga saya jarang ada yng nikah cepet, saya pun berpikir akan mengikuti
jejak mereka. Dulu sampai pernah bilang sama Papah: “Pah, kalau aku nggak nikah-nikah, tolong jangan dipaksa!”.
He smiled and said okay… Tapi, jreng!! Lulus kuliah belum setahun saya udah
minta kawin, hahahaha. Tapi Alhamdulillah, restu udah di tangan… Saya ingat
betul Papah menangis di depan dua keluarga saat perkenalan (belum lamaran
padahal…). Entahlah tangisnya karena apa… Karena sedih atau bahagia… Tapi yang
jelas sekarang Papah seneng banget punya seorang cucu laki-laki nan meriah
seperti Abang Ihya.
Perjalanan kami ke pernikahan lumayan sulit sebenernya,
tetapi Ayah memilih menyimpan semua itu sampai keluarganya setuju sama saya.
Padahal butuh waktu lumayan lama untuk meyakinkan keluarga mertua untuk
menerima saya yang keturunan Minang (padahal ane kan nggak dianggep anak Minang…).
Selesai keluarganya setuju, tiba-tiba Mamah bilang nggak sreg punya menantu dan
besan orang Betawi. Halah… ada-ada aja… kenapa tiba-tiba kesukuannya pada
tinggi begini sih…??! Ya… saya coba pahami karena kebanyakan suku Betawi di
lingkungan kami pendidikannya tidak tinggi, kelakuannya pun seringkali kurang
sopan dan sombong karena merasa sebagai yang punya kampung. Pakai drama saya
udah mau dijodohin sama sepupu jauh segala… T_T
Saat itu, kebanyakan teman-teman saya menikah lewat jalur ta'aruf. Saya? Ta'aruf apanya... wong memang sudah kenal lama kok. Beberapa orang suka mengirimkan nada-nada sindiran. Lah? Kok situ yang sewot? Hehe. Kami hanyalah anak muda, dan insyaAllah tidak ada niat untuk bermain-main semata. Makanya kami berjibaku sekuat tenaga supaya cepat sampai ke sana :)
Saat itu, kebanyakan teman-teman saya menikah lewat jalur ta'aruf. Saya? Ta'aruf apanya... wong memang sudah kenal lama kok. Beberapa orang suka mengirimkan nada-nada sindiran. Lah? Kok situ yang sewot? Hehe. Kami hanyalah anak muda, dan insyaAllah tidak ada niat untuk bermain-main semata. Makanya kami berjibaku sekuat tenaga supaya cepat sampai ke sana :)
Belum lagi duit pas-pasan… Sebagai keluarga mempelai perempuan
orangtua saya merasa memiliki kewajiban untuk menanggung biaya pesta
pernikahan. Tapi, kondisi keuangan Papah saat itu memang cukup menegangkan. Mau
sekedar akad di rumah saja mereka merasa kurang pantas karena banyak keluarga
yang ingin diundang. Saya cuma bisa minta maaf sama Papah karena nggak bisa
bantu apa-apa… Sambil berpesan, jangan sampai berhutang. Alhamdulillah nggak
ada utang-utangan… Malah surplus hasil angpaw. Hehehe.
Saya juga bersyukur sebagai keluarga kami bisa bekerja sama dengan baik…
Nggak ada acara adat atau apa lah yang bisa membuat biaya membengkak. Nggak ada
seragam-seragaman. Mamah dengan sangat PD berkata: Sori ya… uang pas-pasan nih,
jadi nggak pakai seragam ya!!. Bahkan ada rasa bangga terselip di hati ini,
kami tidak terlena dengan alasan ingin menyenangkan keluarga. Kami mampu untuk
menakar kemampuan kami. Sejujurnya sih, ada juga yang bilang seragamnya jelek
lah… Wis, mboten nopo-nopo… Kami paling paham kemampuan kami.
Setelah menikah kami mengontrak rumah di Depok selama
setahun. Selama pernikahan, tentu saja banyak adaptasi… Lupakan cerita putri-putri,
they lied! Dari mulai adaptasi dengan karakter masing-masing, adaptasi dengan
karakter mertua masing-masing, adaptasi dengan kondisi keuangan yang tiba-tiba
mblesek karena konflik suami dengan atasannya.
Setelah punya anak, Alhamdulillah… tabungan kami 0 bahkan
minjem orangtua untuk keluar dari RS. Tapi memang bahagia memiliki anak
mengalahkan segalanya. Alhamdulillah juga saya nggak sempat mengalami yang
namanya baby blues… Walaupun sempat berjibaku dengan perjuangan memberikan ASI
secara langsung untuk Ihya dan masalah keluarga di sana dan di situ, tapi… Here
we are!! 4 tahun. Ealah… baru 4 tahun memang… Tapi tidak ada puluhan tahun
tanpa tahun pertama kan?
Lama kelamaan saya yang penyuka momen-momen penting dan
romantisme dalam bentuk selebrasi jadi ikut suami yang cenderung cuek…
Dirayakan atau nggak toh bukan esensi utama. Udah nggak ada hasrat buat makan
malam atau jalan ke mana… gitu. Tapi Sabtu kemarin akhirnya kita jalan berdua
ke GanCit (nggak penting banget ya?). Nonton Gravity IMAX dan beli vacuum
cleaner. Plus dapat whisker baru pengganti whisker lama yang sudah rusak dan
sarung tangan silikon. Haha. Ada perayaan atau tidak, insyaAllah di dalam hati
maupun terucap lisan, kami tetap saling mencinta. Mungkin ada kalanya naik
turun, tapi menurut saya itu lebih wajar daripada balas-balasan komen mesra di
FB tiap hari. Apapun, I love you, Ayah Ihya… Kita sama-sama terus sampai ke syurga
ya… (“,)
No comments:
Post a Comment