Buku Saga No Gabai Bachan (SNGB) ini adalah buku ke dua yang
saya baca dalam kurun waktu kurang lebih dua bulan ke belakang. Pertama adalah
Rantau Muara karya A. Fuadi. Tapi berhubung SNGB masih segar di kepala, jadilah
buku ini saja yang akan saya tulis ulasannya.
Buku SNGB ini semacam memoar masa kecil – remaja dari
seorang anak laki-laki bernama Yosichi Shimada yang berfokus pada tokoh sang
Nenek. Oia, arti dari Saga No Gabai Bachan adalah Nenek Hebat dari Saga.
Alkisah, Yosichi kecil tumbuh di kota Hiroshima yang saat itu baru saja
mengalami pemboman nuklir (ya… baru dalam hitungan tahun lah…). Ayahnya sakit
dan kemudian meninggal karena efek radiasi. Sang Ibu berjuang mencari nafkah
dengan membuka sebuah bar dan belakangan bekerja di rumah makan.
Karena sang Ibu kesulitan untuk membesarkan anak di tengah
lingkungan kota dan profesinya sebagai pemilik bar, maka Akihiro (nama asli
dari Yosichi Shimada) dikirim untuk dirawat oleh sang Nenek. Di Hiroshima
Akihiro tergolong miskin, tetapi hidup bersama sang Nenek ternyata lebih miskin
lagi (kena deh!). Di malam pertama ia tiba di Saga, hal pertama yang dilakukan
Nenek untuk menyambut Akihiro adalah mengajarinya memasak nasi, karena Nenek
harus pergi pagi-pagi sekali untuk bekerja.
Lalu apa sih istimewanya Nenek? Nenek boleh dibilang punya
karakter super santai, tetapi di saat yang bersamaan ia pekerja keras. Nenek
juga hemat dan perhitungan, tetapi di saat yang bersamaan ia pengasih kepada
orang yang lebih membutuhkan. Akihiro sendiri menurut saya sosok anak hebat
yang mampu tumbuh optimis dan bahagia di antara keterbatasannya.
Yosichi sendiri pada jamannya dikenal sebagai entertainer
(spesifiknya, komedian). Jadi, tidak heran kalau dalam buku yang sebenarnya
kisahnya penuh kesedihan ini justru digambarkan dengan lucu dan ringan.
Kembali lagi ke Nenek, seperti apa sih super santainya? Ia
tidak mempemasalahkan nilai-nilai Akihiro yang “standar”. Suatu hari, Akihiro
meminta maaf karena ia lebih banyak mendapatkan nilai 1 dan 2 (dari 5) di
raportnya. Nenek menjawab: “ah, tidak apa-apa… 1 dan 2 kalau ditambah-tambahkan
juga hasil akhirnya 5”. Betul juga toh… Sekarang juga banyak teori pendidikan
menyebutkan demikian, bahwa tidak mengapa anak tidak unggul di semua bidang
selama ada bidang yang dikuasainya. Tapi soal kerja keras Nenek jangan ditanya
kerasnya!! Dini hari ia sudah berangkat bekerja.
Nenek juga super irit, mungkin ini karena kondisi kemiskinannya.
Nenek hampir tidak pernah berbelanja, karena di depan rumah ada “sungai
supermarket”. Sungai ini banyak membawa barang-barang dari pasar seperti
sayuran dan buah-buahan. Akihiro yang hobi olahraga pun dianjurkan untuk
memilih lari saja sebagai olahraganya. Sederhana, karena lari tidak butuh alat
apapun (bahkan Akihiro dilarang pakai sepatu saat ia berlari, hehe).
Namun, Nenek juga amat perhatian pada orang yang
membutuhkan. Apabila ada saudara yang berhutang, ia tak berharap dikembalikan.
Selain itu, Nenek juga pernah membeli sepatu olahraga yang amat mahal saat
Akihiro diangkat menjadi kapten klub base ball.
Satu hal lagi yang menjadi penekanan Nenek (dan buku ini)
secara keseluruhan. Orang miskin punya dua pilihan, menjadi miskin yang susah
atau miskin yang ceria. Nenek memilih menjadi miskin yang ceria. Lagipula,
menurut Nenek menjadi orang kaya tidak enak karena jadi terlalu sibuk dan
banyak yang dilakukan :)
Buat saya sendiri, buku ini bagus dan ringan. Hal-hal yang
sebenarnya sedih bisa membuat kita tersenyum dan mengambil hikmah. Banyak pula
cerita tentang kebaikan-kebaikan orang lain di sekitar Akihiro yang bisa
dijadikan contoh. Suatu hari saat Ihya sudah cukup besar saya akan memintanya
membaca buku ini. Bagi yang belum membaca, buku ini bisa dijadikan pilihan.
Semoga bermanfaat.
No comments:
Post a Comment