Saya pertama kali bertemu Mbak Arie di kisaran tahun
2006. Kami sama-sama aktif di LDK (anak SMA mah bilangnya Rohis) dan lembaga
mahasiswa (semacam BEM atau Senat lah...). Walaupun Mbak Arie lebih
senior dan kami beda fakultas, akhirnya kami berkegiatan bareng di BEM UI.
Menurut saya itu skenario Allah, beneran (eh, semua juga skenario Allah yak?).
Soalnya gini lho... pada waktu itu anak psikologi yang aktif di Rohis dan LM
fakultasnya jarang ada yang menginjakkan kaki di BEM sebelum menjelang masa
senja (usia udah wajib lulus lah istilahnya). Entahlah siapa yang pertama kali
bikin peraturan tak tertulis itu... Pokoknya di tahun 2006 resmilah saya masuk
BEM UI di Biro PSDM tempat Mbak Arie menjadi ketua biro.
Kami berbagi banyak hal di sana, termasuk pertemanan
yang semakin akrab dari waktu ke waktu, bahkan setelah kepengurusan BEM
berakhir. Semakin lama tentu tak semua anggota biro bisa berkumpul. Sedikit dari
yang tersisa dan masih getol ngumpul adalah saya, Mbak Arie, dan Syami (suami
saya yang ngganteng itu loh...).
Buat saya dan suami, hubungan kami dengan Mbak Arie
adalah satu hal yang cukup dalam. Mbak Arie bantu pernikahan kami, bantu cari
kontrakan pertama kami, jadi tetangga kami, dan mengenalkan kami ke
keluarganya. Bu Tar (Mamanya Mbak Arie) bahkan bisa dibilang sebagai “orangtua”
kami selama di kontrakan.
Seiring berjalannya waktu, seiring jarangnya kami
bertemu, interaksi kami mungkin tak lagi seperti dulu. Tapi buat saya, Mbak
Arie bukan lagi sahabat, melainkan saudara. Hal-hal baik tentangnya selalu saya
tunggu, terutama pernikahan. Bukan soal usia yang terus berjalan atau tuntutan
sosial. Pernikahan adalah sunnah Baginda Rasul. Pernikahan seperti sebuah pintu
ke dunia yang baru. Dan saat undangan itu datang, saya bahagia. Akhirnya...
Semoga pernikahan ini
menjadi pintu barokah yang semakin besar ya Mbak. We love you (kali ini tulisan
saya mewakili keluarga kecil kami: Dahlia, Syami, Ihya :)
No comments:
Post a Comment