Sunday, November 3, 2013

Tentang Naik Gaji...

Bismillahirrahmanirrahiim…

Berhubung hari Jumat/1 November 2013 kemarin dilaksanakan Sidang Pengupahan untuk menentukan UMP DKI Jakarta di tahun 2014, sepanjang minggu kemarin pembahasan yang paling ramai baik on line maupun off line (bisa ditebak) adalah soal buruh yang menuntut kenaikan upah. Buruh sebenarnya buat saya merujuk pada semua orang yang berstatus karyawan atau pegawai. Direktur selama dia digaji dan bukan pemilik perusahaan ya tetap buruh lah namanya… Termasuk saya. Tapi “buruh” yang ramai seminggu kemarin adalah pekerja pabrik yang rata-rata pendidikan tertingginya setingkat SMA.

Tahun ini berita lebih ramai lagi karena tuntutan buruh nggak tanggung-tanggung, 3,7 juta. Glek… Saya cuma bisa menelan ludah. Kemudian media (sosial) pun ramai. Seperti biasa ada pro ada kontra. Yang pro bilang bahwa wajar mereka minta kenaikan karena setiap orang punya hak untuk hidup layak. Yang kontra bilang, ajegile… sarjana sekolah susah-susah gajinya juga banyak yang nggak nyampe segitu…

Terus, saya di mana? *Tarik napas dulu…*. Pertama, saya sudah berkeluarga. Dengan tujuan masa depan (finansial) yang lebih baik saya bekerja, tidak seperti mayoritas Ibu di jaman Mamah saya yang kebanyakan menjadi Ibu Rumah Tangga walaupun mereka mengenyam pendidikan tinggi. Saya benar merasakan bahwa kebutuhan hidup saat ini luar biasa. Tidak cukup dengan kebutuhan dasar sandang-pangan-papan, saat ini ada kebutuhan untuk pendidikan, pergaulan, aktualisasi diri, deelel. Yang walaupun jumlahnya tidak fantastis, tapi lumayan makan anggaran. Intinya, hidup jaman kini bukan cuma yang dasar-dasar saja… Apalagi dengan derasnya arus informasi dan konsumerisme di sekitar kita. Salahkah? Menurut saya, idealnya kita hidup dengan apa yang kita punya. Jangan berutang. Kalau kurang ya cari tambahan, tapi yang halal dan wajar. Betul kan? Apalagi di Islam kita kenal dengan istilah zuhud. Tapi dengan arus informasi sedemikian derasnya, susah sekali bukan untuk menahan untuk tidak mengikutinya?

Kedua, saya juga buruh, tapi lulusan pendidikan tinggi, Fakultas Psikologi UI. Alhamdulillah dulu saya nggak susah dalam mendapatkan pekerjaan setelah lulus. Sebagian orang mengeluh susah banget dapat pekerjaan, padahal sama-sama sarjana. Ternyata ada hasilnya juga saya dulu kuliah. Kuliah di PTN tuntutannya tinggi boo… Kalo cuek pasti ketinggalan. Untuk dapat IPK 3,21 saya harus bisa menyeimbangkan antara kuliah dan kegiatan ekstra kurikuler. Namanya juga anak muda, mana rela sih ngendon di kelas aja? Kalau ditarik lebih jauh, saya juga berjuang keras untuk bisa masuk PTN dengan passing grade Fakultas Psikologi yang saat itu terbilang tinggi. Tujuan saya masuk PTN ada 3, pertama… saya sekolah di sekolah negeri yang bisa dibilang unggulan. Hampir semua murid tujuannya adalah PTN. Owh… saya nggak mungkin dong santai-santai sementara mereka belajar?? Bisa malu nggak habis-habis nanti kalau nggak lulus SPMB. Kedua, saya anak sulung dan saya harus jadi contoh. I have to set high standard. Ketiga, sesederhana karena PTN murah, orangtua saya bukan orang kaya. Walaupun kena AFEE 8 juta, tapi saya masih bisa menikmati biaya semester 1,3 juta. Indahnya…

Sebagai sesama buruh, saya harus bilang pekerjaan saya nggak istimewa. Dan saya sudah sampai pada satu kesimpulan jika ingin menjadi istimewa, jadilah spesialis atau pengusaha. Gaji saya juga biasa saja, tergambar dari nggak banyak angka yang nyisa saat akhir bulan, haha.

Balik lagi ke persoalan Buruh yang meminta kenaikan upah hingga 68% (wow), lagi-lagi saya paham kalau seseorang mengingikan gaji besar, hidup nyaman, punya aset, dll. Tapi kira-kira pengusaha sanggup menopang itu semua nggak sih? Kenaikan UMP bukan cuma soal penghasilan tiap bulan lho… Ngaruh juga ke THR, Jamsostek, Asuransi Kesehatan, Bonus. Bukannya jahat, tapi pengusaha bikin usaha ya buat untung kan yah… Kalau cuma impas doang untuk bayar karyawan mah namanya kerja sosial. Harap diingat juga bahwa kemampuan perusahaan berbeda-beda. Ada kelas kecil menengah – besar. Bidang industri pun berpengaruh. Nggak semuanya di bisnis energi atau FMCG kan?

Kedua, kemungkinan karena nggak mampu untuk menopang kenaikan yang adil, perusahaan kemudian membuat persentase kenaikan yang besar bagi pegawai setingkat SMA dan kenaikan yang amat kecil bagi tingkat di atasnya. Kenaikan bahkan terkesan asal naik, padahal nutup inflasi aja mungkin nggak. Jadi salah besar bagi mereka yang bilang… santai aja lah… toh kalau gaji pegawai tingkat terendah naik, maka lo akan dapat kenaikan dengan presentase yang sama. Polos amat… Lalu, masih adil nggak?

Serius, ini bukan soal ngiri. Saya senang dan bahagia kalau kita semua dapat gaji setinggi-tingginya. Tapi inget deh, adil belum tentu sama rata. Saya kebetulan pernah ikut proses Job Evaluation di kantor. Versi Hay menyebutkan bahwa ada 3 faktor yang menjadi penilaian dalam Job evaluation: Accountability, Know How, dan Problem Solving. Ketiga faktor itu (dan turunannya) yang membedakan nilai setiap pekerjaan. Setiap tingkat jabatan membutuhkan penguasaan pengetahuan dan keterampilan dengan tingkat yang berbeda pula. Hasil penilaian ini nantinya juga akan berpengaruh terhadap remunerasi pegawai.



Yah, begitulah… saya dan suami yang harus kerja dua-duaan memang nggak rela kalau gap gajinya kemudian menjadi sekecil itu. Lagi-lagi, bukan karena ngiri, tetapi karena kemudian hasil yang kami dapat tidak lagi menggambarkan kontribusi setiap orang bagi perusahaan. Apalagi melihat banyaknya berita tentang buruh yang kredit Kawasaki Ninja, bawa-bawa Ipad, nenteng BB Q10. Sesuatu yang saya dan suami nggak punya keinginan untuk membelinya, karena kami sadar, menuruti mode nggak akan selesai, kami harus perpijak pada apa yang kami butuh. Saat ini baru bisa bergerak di situ, soalnya…

Eniwei… kenaikan UMP sekitar 200 ribu saja. Nggak gede, tapi mengalahkan kenaikan gaji saya tahun lalu yang cuma 100 ribu perak karena perusahaan shock dengan kenaikan UMP sekitar 46%.
Saya berdoa, keadaan ekonomi Indonesia membaik, nggak ada lagi korupsi dan pungli sehingga gaji kita semua bisa naik dengan cara yang alami dan wajar, bukan semata-mata karena tuntutan. Amin.

Oia, kita sama-sama belajar hidup zuhud kali ya? Utamakan yang penting dan sesuai kebutuhan dan jangan mengusahakan membeli apa yang sesungguhnya tidak kita butuhkan. Seperti kata suami saya (yang kesederhanaannya mengagumkan):

"There is no point in spending money you don't have, to buy things you don't need, to impress people you don't know".

No comments:

Post a Comment