Prihatin.
Itu yang pertama kali ada di kepala saya
waktu menonton acara siaran tunda kontes Bebestar. Tempatnya, kalau nggak salah
di Surabaya atau Jakarta.
Sebenarnya, iklan-iklan Bebelac (merk susu formula yang bikin acara Bebestar) rata-rata berkesan banget buat saya. Yang pertama saya ingat adalah beberapa
iklan yang menunjukkan tingkah polah anak-anak yang alami banget. Walaupun
tentu saja dicari adegan-adegan yang menggambarkan betapa “lucu, pintar, sehat,
dan menggemaskan” nya anak-anak dalam iklan Bebestar, tapi paling nggak, bukan
dengan adegan konyol seperti: “loh…kok anak 2 tahun bisa ya…minum susunya apa
sih?”. Eee… nggak ada seninya banget tu iklan. Noh, jadi ngelantur kan… Balik
lagi ke iklan Bebelac pertama yang saya inget adalah iklan dengan lagu:
“you’re my sun…my moon…” dan kemudian menyusul beberapa versi dengan konsep
yang kurang lebih sama.
Yang ke dua, kalo nggak salah sih pas
boomingnya Piala Dunia, jadi konsep Bebestar-nya diterjemahkan dalam lapangan
dengan bayi-bayi tanggung yang sedang bermain bola, dan kemudian ada tim yang
menang. Seperti sudah ditebak, mamanya para anggota tim yang menang menangis
terharu. Lumayan lucu…
Lalu, yang ke tiga adalah iklan “I want to
make clouds…”. Itu indah banget… Adegannya, pengambilan gambarnya, narasinya…
Tapi, sayangnya, setelah di-dubbing ke bahasa Indonesia jadi ancur… Dan ada
dua iklan dengan versi yang serupa (ralat, bukan iklan bebelac tetapi saya lupa apa merk susunya).
Yang ke empat, iklan anak kecil lagi
nyanyi. Yang ini udah iklan Bebestar deh kayaknya, bukan semata-mata Bebelac.
Itu lucu, karena anaknya tampak sangat alami…
Yang ke lima (inilah iklan yang sumpah
bikin saya ilfeel…), iklan Bebelac dengan anak kecil (yang cuantikkk
buangettt) yang lagi speech, dan bilang makasih ke Mamanya. Terus ada ibu-ibu
yang nangis di situ… Eh, apa yang mengharukan sih? Sori kid, menurut saya kamu
kebangetan diatur dan nggak kelihatan alami…
Terakhir, saat nonton acara Bebestar yang
sesungguhnya. Anak-anak balita, didandanin ala orang dewasa (bintang film
Hollywood atau boyband Korea…). Disambut di karpet merah bak selebritis dengan
penuh gaya… Dan di panggung, mereka menari, bernyanyi, berakting. Ada satu anak
yang nge-dance bener-bener seperti orang dewasa. Bisa dibilang Beyonce versi
kecil lah… Di titik itu, saya yang nggak terlalu peduli dengan adegan-adegan
sebelumnya jadi bener-bener kesel atas pembentukan definisi anak “bintang”
versi Bebestar. Sekarang, gimana kita mau protes dengan tayangan televisi yang
mayoritas nggak ada gunanya bahkan merusak, kalau di belakang layar pun para
orangtua justru menyuburkannya.
Acara reality show yang menebar mimpi
orang untuk menjadi bintang (baca: artis, tetapi bukan seniman yang sebenarnya)
makin marak, makin ramai. Satu-satunya alasan yang paling masuk akal buat saya
adalah karena banyak orang tergoda dengan kehidupan ala bintang. Pakaian bagus,
disorot kamera, muncul di infotainment, dan dibayar mahal!! Lebih mahal dari
gaji manajer saya. Atau bahkan gaji VP di kantor saya!! Sungguh, saya tidak
menganggap remeh pekerjaan seniman. Jika anda Idris Sardi, Adi MS, Erwin
Gutawa, Ruth Sahanaya, atau Mathias Muchus (love him!!), you worth for any
number as long as people love it. Seni adalah sesuatu yang sulit untuk dinilai
dengan rupiah. Saking sulitnya, kadang harganya justru jadi nggak masuk akal.
Dan balik lagi ke anak-anak tadi, sekarang
bukan hanya para dewasa, bahkan bukan lagi para remaja, melainkan balita!!
Mereka diajak atau diarahkan orangtua mereka untuk jadi seperti itu. Yang baik,
yang bagus sekarang adalah anak yang pandai menyanyi, berjoget, dan tak malu di
depan kamera. Itu sajakah Ibu? Sedangkal itukah kita ingin anak-anak kita
menjadi?
Duh, saya terdengar nyinyir nggak ya?
Mohon maaf seribu maaf buat para Ibu yang secara sadar atau nggak mengarahkan
anaknya seperti yang saya tuliskan di atas (bukan hanya lewat ajang Bebestar).
Saya tetap yakin bahwa Ibu ingin yang terbaik. Tapi, Ibu mungkin tidak atau
belum tahu apa yang terbaik itu. Saat kuliah, bukankah kita berkutat dengan
teori. Tidak bisakah sejenak saja kita memikirkan kembali, teori kebaikan apa
yang ingin kita pelajari dan ajarkan kepada anak-anak kita? Membuka kitab suci
atau buku-buku parenting bisa jadi langkah awal yang mudah kan? Tapi,
sepertinya bukan dengan melongok televisi.
Bismillah, mari jadi Ibu yang
(benar-benar) tahu apa yang terbaik, bukan hanya ingin yang terbaik.
Tulisan ini untuk buah hatiku, Ihya dan
untuk seluruh orangtua di jagat raya.
No comments:
Post a Comment