- Saat Ihya berusia 1 bulan dan mulai belajar menyusu. Untuk pertama kali saya merasakan nggak tidur yang sebenarnya saat mengurus bayi kecil. Saya sakit, suami sakit, Mamah sakit. Merasa kelelahan luar biasa. Puncaknya, suatu malam saya membiarkan Ihya menangis dan nggak mau menyusui Ihya. Pakai adegan ninju tembok segala… Hehe. Cerita lengkapnya boleh dilihat di sini kalau penasaran...
- Ihya yang super garendut dan amat doyan nenen ternyata tidak menjamin membuat masa MPASInya akan berjalan dengan mudah. Hampir bisa dikatakan bahwa Ihya nggak punya minat sama makanan sampai ia berusia 9 bulan (mustinya kan 6 bulan Baaang…!!) dan kemudian kembali mogok makan alias GTM. Pola makannya baru bisa dibilang baik setelah usia 12 bulan dan itupun tentunya dengan tantangan yang selalu menyertai. Ada masa-masa di mana saya sampai menangis karena Ihya nggak mau makan. Bayangkan… Ihya sampai sakit-sakitan, kulitnya pucat, tapi tetap setia tutup mulut.
- Ini nih yang bakal saya ceritain…
Setelah satu tahun, si kecil bisa dibilang bukan bayi
lagi. Ia sadar bahwa ia diperhatikan. Mulai memiliki keterikatan emosi yang
berbentuk dengan para significant others.
Mulai bisa juga menampilkan emosinya.
Kalau pengalaman dengan Ihya nih, nangis ala bayi udah
nggak jaman. Ihya bahkan bisa PURA-PURA nangis atau menangis sambil posisi
sujud untuk menunjukkan “kepedihannya” atau sebagai bentuk protes saat
keinginannya tidak terpenuhi. Di sisi lain, Ihya mulai menunjukkan
keengganannya untuk berpisah dengan saya. Yang biasanya anteng berubah jadi cranky kalau saya ada di sisinya, bahkan
menangis menjerit-jerit. Selain itu, yak, saya jadi saksi hidup bahwa
negativitas pada batita itu benar-benar ada Jendral!! Ditawarin nenen sekalipun
Ihya akan geleng-geleng sambil bilang “mau..!!” (maksudnya nggak mau). Ihya
juga mulai nunjuk ini itu tapi kemudian menolak saat diberikan. Nggak
konsisteeen…
Dan banyak perilaku-perilaku lainnya yang cukup
mengejutkan untuk saya. Karena selama ini, buat saya Ihya anak yang begitu
penyabar dan nggak cengeng. Amat sangat membantu saya dalam merawatnya. Buat
saya, Ihya seperti anak manis yang nggak banyak minta. Tapi apa yang saya
hadapi sekarang benar-benar berbeda.
Puncak rasa frustasi saya adalah hari Sabtu kemarin.
Suami kerja (kamu rajin amat sih Bun…). Bilangnya pulang jam 13, eh…nggak
tahunya dapet kerjaan tambahan yang bikin Syami baru pulang maghrib. Udah gitu,
rumah habis kebanjiran pula, jadilah rumah kapal pesiar itu (saking gedenya…)
terasa seperti Titanic menjelang tenggelam. Pada saat itulah Ihya menunjukkan
aksinya… Wuah… saya bener-bener dibuat kewalahan… Ihya nangis tanpa henti,
maunya digendong (tanpa gendongan), dan gairahnya untuk memegang benda-benda
yang seharusnya tidak dipegang amat tinggi. Ditambah lagi, rasa capek yang
serasa dirapel karena hari Kamis tugas keluar kota dan di sepanjang minggu itu Ihya
belum punya pengasuh baru.
Saya nangis loh, saking bingung dan nggak tahu mau
ngapain… Saya juga sempat membentak Ihya supaya dia diam. Jangan ditiru ya…
Saya nyesel banget dan cara tersebut terbukti TIDAK BERHASIL (sama seperti
memaksa anak GTM makan).
Huhu… Saya sedih banget. Saya bener-bener takut nggak
bisa mendidik Ihya dengan baik. Rasa percaya diri saya juga sempat luntur saat
Bunda bilang kalau di rumah (saat saya tinggal) Abang baik-baik saja dan
anteng. Kemudian, hari Senin saya teringat sama seorang teman yang pernah
menulis tentang tantrum pada anaknya (bukan anak orang lain ya… hehe). Saya
ngobrol dengan dia dan kemudian merasa jauuuh lebih tenang karena ternyata
masa-masa itu hampir dialami setiap batita. Ditambah lagi di hari berikutnya teman
saya yang lain menyampaikan pengalaman yang kurang lebih serupa tentang
anaknya.
Bismillah, saya coba pasang stok sabar yang banyak.
Sambil menghembuskan mantra buat diri sendiri: ini wajar… ini normal… saya bisa…
Ihya anak baik… berulang-ulang. Dan yeaaah!! Lagi-lagi berpikir positif melaksanakan
tugasnya dengan baik. Di malam Selasa saya mengajaknya main dengan pasang stok
sabar sebanyak mungkin, begitu pula saat meninabobokannya… Di malam Rabu bahkan
kami bermain dengan sangat asyik dan menyenangkan. Saya juga dapat “kado” Ihya sudah
bisa bilang “uaaa” saat saya bernyanyi lagu Burung Kaka Tua. Menjelang tidur
Ihya sempat nangis karena saya larang untuk menggigit dan memuntir puting payudara.
Tapi, saya coba konsisten untuk memberi tahu Abang bahwa hal tersebut tidak
boleh.
Saya cuma bisa bersyukur… Saya tahu Abang punya bibit
sanguinis yang cukup terlihat. Ia pemberani, senang dipuji, dan sangat
ekspresif baik segi verbal maupun non verbal. Seharusnya saya sadar dan sabar
dari dulu ya… *tapi nggak akan ada tulisan ini dong…*. Hehe. Kalau
diinget-inget, perkembangan emosinya sebenernya sebuah kesenangan tersendiri
untuk saya karena kami bisa “mengobrol” lebih interaktif.
Selain itu, saya juga jalan-jalan ke situs ini untuk
belajar lebih lanjut. Dan tertera sebuah pernyataan yang amat menenangkan:
No comments:
Post a Comment