Tuesday, May 29, 2012

Katanya Cinta


Secara kebetulan, akhir-akhir ini tiba-tiba saya dicurhatin beberapa orang mengenai perkara percintaan. Lucunya, hubungan saya sama mereka sebenarnya so-so, alias biasa-biasa aja. Kenal… tapi nggak deket banget lah. I usually told a story about my love life with someone that I called bestfriend. Di samping itu, walaupun saya pernah mengalami masa-masa muda nan galau terkait dengan masalah hati, tapi sepertinya masalah saya jauuuh lebih monyet*) dari teman-teman saya ini.
* Monyet mengacu pada arti monyet dalam frase cinta monyet.
Saya menganggap rasa suka/senang yang tidak berujung pada penyatuan sebagai hal biasa (kecuali dengan yang terakhir). Selain itu, prinsip juga mengatakan: seriusnya ntar aja lah, kalo emang udah mau nikah. Jadi, jadi syukur… Nggak ya udah.

Teman 1 cerita tentang mantan pacar karena stimulus berupa pendapat yang saya kasih tentang pakaiannya yang secara kebetulan senada dengan pandangan mantan pacarnya.
Teman 2 cerita tentang “balas dendam”nya kepada mantan pacar yang meninggalkan dia nikah dengan orang lain melalui lulus kuliah dan kerja. Dan kemudian mantan pacarnya ini justru mengejarnya kembali.
Teman 3 cerita tentang cinta abu-abunya dengan mantan pacar yang sudah menikah (yang menjadikan pernikahannya sebagai pelarian).
Teman 4 tersirat dari status-statusnya di FB bahwa ia akan dipoligami (inget ya… tersirat, jadi dia nggak cerita sama saya).

Dari beberapa cerita itu, saya hanya punya kesimpulan singkat…
Semua orang boleh mengalami masalah percintaan, tetapi yang membedakan adalah status pernikahannya. Kok? Untuk orang yang sudah menikah masalah timbul karena ia telah membuat komitmen seumur hidup dengan pasangannya. Bahkan seumur mati, karena perihal pernikahan ini akan dibawa-bawa sampai di akhirat. Sedangkan bagi yang belum menikah, masalah justru timbul saat ia memiliki kebebasan untuk memilih.

Kesimpulan lain, cinta tidak lebih penting dari komitmen kebaikan.

Cinta memang bukan soal logika. Tetapi manusia dikaruniai kebebasan. Hanya saja kebebasan tersebut hanya untuk memilih yang baik. Begitu juga soal cinta dong… Permasalahannya, cinta seringkali tersamar oleh nafsu. Cinta dipersempit artinya jadi memiliki. Saya jadi ingat cuplikan di bukunya Salim A Fillah, bahwa pernikahan bukan soal cinta, tetapi soal komitmen. Komitmen untuk memilih yang baik, termasuk mencintai pasangan dengan semangat perbaikan.

Kebetulan, saya yang sudah menikah ini juga mengalami, bahwa tantangan setelah menikah justru makin besar. Kalau bukan karena komitmen untuk perbaikan, kalau saja yang saya anut adalah cinta ala film Amerika, pernikahan pasti akan bubar. Yang amat mungkin bukan karena sulit mempertahankannya, tetapi karena memang tidak ada komitmen untuk tetap bersatu.

Duh, pagi-pagi ngomongin cinta… Sebenernya sih, panjang-panjang begini saya cuma mau bilang sama Hisyami Adib: Aku cinta padamu (diucapkan ala Iko Uwais).

No comments:

Post a Comment