Secara kebetulan, akhir-akhir ini tiba-tiba
saya dicurhatin beberapa orang mengenai perkara percintaan. Lucunya, hubungan
saya sama mereka sebenarnya so-so, alias biasa-biasa aja. Kenal… tapi nggak
deket banget lah. I usually told a story about my love life with someone that I
called bestfriend. Di samping itu, walaupun saya pernah mengalami masa-masa
muda nan galau terkait dengan masalah hati, tapi sepertinya masalah saya jauuuh
lebih monyet*) dari teman-teman saya ini.
* Monyet mengacu pada arti monyet
dalam frase cinta monyet.
Saya menganggap rasa suka/senang
yang tidak berujung pada penyatuan sebagai hal biasa (kecuali dengan yang
terakhir). Selain itu, prinsip juga mengatakan: seriusnya ntar aja lah, kalo
emang udah mau nikah. Jadi, jadi syukur… Nggak ya udah.
Teman 1 cerita tentang mantan pacar
karena stimulus berupa pendapat yang saya kasih tentang pakaiannya yang secara
kebetulan senada dengan pandangan mantan pacarnya.
Teman 2 cerita tentang “balas
dendam”nya kepada mantan pacar yang meninggalkan dia nikah dengan orang lain melalui
lulus kuliah dan kerja. Dan kemudian mantan pacarnya ini justru mengejarnya
kembali.
Teman 3 cerita tentang cinta abu-abunya
dengan mantan pacar yang sudah menikah (yang menjadikan pernikahannya sebagai
pelarian).
Teman 4 tersirat dari
status-statusnya di FB bahwa ia akan dipoligami (inget ya… tersirat, jadi dia
nggak cerita sama saya).
Dari beberapa cerita itu, saya
hanya punya kesimpulan singkat…
Semua orang boleh mengalami masalah
percintaan, tetapi yang membedakan adalah status pernikahannya. Kok? Untuk
orang yang sudah menikah masalah timbul karena ia telah membuat komitmen seumur
hidup dengan pasangannya. Bahkan seumur mati, karena perihal pernikahan ini
akan dibawa-bawa sampai di akhirat. Sedangkan bagi yang belum menikah, masalah
justru timbul saat ia memiliki kebebasan untuk memilih.
Kesimpulan lain, cinta tidak lebih
penting dari komitmen kebaikan.
Cinta memang bukan soal logika. Tetapi
manusia dikaruniai kebebasan. Hanya saja kebebasan tersebut hanya untuk memilih
yang baik. Begitu juga soal cinta dong… Permasalahannya, cinta seringkali
tersamar oleh nafsu. Cinta dipersempit artinya jadi memiliki. Saya jadi ingat
cuplikan di bukunya Salim A Fillah, bahwa pernikahan bukan soal cinta, tetapi
soal komitmen. Komitmen untuk memilih yang baik, termasuk mencintai pasangan
dengan semangat perbaikan.
Kebetulan, saya yang sudah menikah
ini juga mengalami, bahwa tantangan setelah menikah justru makin besar. Kalau
bukan karena komitmen untuk perbaikan, kalau saja yang saya anut adalah cinta
ala film Amerika, pernikahan pasti akan bubar. Yang amat mungkin bukan karena
sulit mempertahankannya, tetapi karena memang tidak ada komitmen untuk tetap
bersatu.
Duh, pagi-pagi ngomongin cinta…
Sebenernya sih, panjang-panjang begini saya cuma mau bilang sama Hisyami Adib:
Aku cinta padamu (diucapkan ala Iko Uwais).
No comments:
Post a Comment