Sunday, March 11, 2012

Tentang Pendidikan Anak

Hadeh, namanya juga emak-emak ya... Isi blognya nggak jauh dari soal anak, keluarga, anak lagi, keluarga lagi... Hehe. Dan kali ini, saya lagi kepikiran soal pendidikan anak. Yak, saya memang sarjana psikologi, pasti orang akan berasumsi bahwa “lo mestinya tahu dan nggak bingung dooong...”. Nggak, saya tetap bingung, walaupun sedikit banyak saya tahu tentang perkembangan anak. Dan tentunya banyak dari mata kuliah yang saya ikuti dulu bersinggungan dengan pendidikan, sekolah, dsj (dan sejenisnya). Sayapun sempat menjadi perancang kurikulum sosial di sebuah sekolah. Dan bahkan menjadi guru level SMA di sebuah sekolah yang “tidak biasa” (positif loh maksudnya...).

Sekarang usia Ihya 15 bulan. Kalau kami berniat memasukkan Ihya ke KB (Kelompok Bermain), berarti waktu yang tersisa bagi kami untuk berpikir tinggal 21 bulan. Ini belum ngomongin soal biaya pendidikan yang bikin nganga sampe mulut pegel ya... Baru soal memilih sekolah (atau mungkin lebih tepatnya jenis sekolah) yang tepat dan sesuai dengan visi kami dalam mendidik anak-anak kami (btw, kalo dari tadi saya menyebut “kami”, itu berarti saya dan suami ya...).

Saya rasa, setiap orang tua akan setuju bahwa hal yang terpenting adalah pendidikan moral dan akhlak sesuai dengan rujukan terpercaya dalam masing-masing keluarga. Untuk kami yang beragama Islam, ya sesuai Al-Quran dan Sunnah. Buat yang beragama lain, ya sesuai dengan kitab suci dan keyakinannya masing-masing. Dan buat yang nggak memeluk agama apapun, pasti tetap memiliki standar nilai-nilainya sendiri. Dan, pendidikan moral-akhlak ini bukan sekedar soal hapalan surat atau belajar mengaji ya... Itu penting, titik, tapi bukan sekedar itu (jadi apaaaaa?? Hehe).

Cinta pada Allah dan Rasulullah. Beradab baik. Berbuat dan melangkah atas dasar takwa. Itu susah. Nggak ada sekolah yang menjanjikan hal-hal tersebut, karena menurut saya, hal tersebut memang bukan jatahnya sekolah, itu adalah jatahnya orangtua. Tapi, seperti diketahui bersama, anak (kecil-remaja) adalah makhluk yang cerdas, pintar, dan luar biasa mudah untuk menyerap apapun yang menarik hati dan pikirannya. Sementara secara emosional, mereka belum matang. Baik hari ini belum membuat urusan selesai, karena esok hari mungkin ada pengaruh kurang baik yang singgah pada mereka. Dan kematangan emosional yang belum sempurna bisa menyebabkan mereka tertarik atau memilih hal yang kurang baik tersebut. Jadi, ini bukan cuma soal menanamkan apa yang menjadi “jatah” orang tua seperti yang saya sebutkan di atas, tetapi memilihkan lingkungan yang tepat untuk memelihara dan menjaga apa yang sudah ditanamkan.

Nah, bagian yang “tricky”-nya lagi adalah... Memberikan yang terbaik tidak selalu memberikan yang baik-baik. Sepakat nggak? Kadang... sakit, pedih, susah, jelek, pada taraf tertentu justru makin menguatkan pribadi anak menjadi individu yang baik, tahan banting, atau banyak predikat positif lainnya.

Itulah yang menjadi pegangan utama, akhlak. *hela napas panjang-panjang...*. Kecerdasan intelektual? Penting juga dong... Tapi saya sepakat dengan Aki Gardner bahwa kecerdasan bukan sebatas yang bersifat logis atau matematis. Jadi soal itu, saya akan berusaha agar-agar anak-anak kami kelak berkembang sesuai dengan bakat dan passion-nya.

Oke, balik pada topik semula, soal memilih pendidikan untuk anak. Kalau boleh disimpulkan, saat ini pendidikan ada yang berlangsung di dalam institusi tertentu dan di rumah (homeschooling). Daaan... Soal ini pun kami belum bahas tuntas. Hahaha.

Okeh, saya pasti akan bahas ini dengan suami soal ini. Saya sempat tergoda, sangat tergoda dengan homeschooling. Sebenernya ide homeschooling sudah agak lama masuk peti. Tapi gara-gara baca bukunya Ayah Edi, jadi kepikiran lagi deh... Idealnya, homeschooling (sebut dengan sekolah rumah aja ya...) akan memberikan pendidikan yang telah dikustomisasi sedemikian rupa dengan bakat dan kebutuhan anak. Untuk anak yang senang melukis, misalnya, maka hal itulah yang harus senantiasa diasah dan dikembangkan. Sedangkan hal yang lain mendapat porsi wajar-seadanya saja. Soal hubungan sosial dengan anak lain pun nggak serta merta tertutup kok. Kan ada teman sepermainan di rumah, kakak-adik, atau komunitas sekolah rumah yang sekarang sudah mulai banyak. Peran serta dan keterlibatan orangtua yang besar juga memperbesar kesempatan anak-orangtua untuk membangun ikatan emosional yang kuat.

Aih, indahnya. Untuk saat ini saya cuma bisa bilang bahwa sekolah rumah yang belum awam dan kebutuhan akan komitmen orangtua yang luar biasa bikin saya deg-degan dan masih belum berani mengambil pilihan ini.

Umm, oke, ini mungkin menyebalkan, tapi sepertinya tulisan ini akan bersambung, karena tadinya arah tulisan saya bukan ke sini, tapi kok jadi dalem banget ya... hehe. Sekalian cari tahu lebih banyak tentang berbagai pilihan metode pendidikan.

(bersambung... *Ya Allah, kuatkan niatku untuk menulis sambungannya, hehe*)

No comments:

Post a Comment